Ketika kita bicara soal pengembangan diri dan makna hidup, dua tokoh besar yang sering muncul adalah Erich Fromm dan Abraham Maslow. Meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, Fromm sebagai seorang psikoanalis humanis dan Maslow sebagai psikolog dengan pendekatan positif, keduanya sama-sama menggali satu pertanyaan besar: apa arti menjadi manusia seutuhnya?
Mencari Makna: Fromm dan Kebutuhan Akan Cinta
Menurut Erich Fromm, manusia dimotivasi untuk mencari makna hidup melalui cinta, kebebasan, dan hubungan yang sehat. Dalam bukunya yang berjudul “The Art of Loving”, Fromm menekankan bahwa mencintai bukan hanya tentang perasaan romantis; itu adalah tindakan aktif, upaya sadar untuk memiliki hubungan yang benar dengan sesama.
Fromm menemukan bahwa banyak orang terjebak dalam rutinitas dan hidup secara "otomatis" tanpa memahami siapa mereka atau apa yang mereka inginkan. Fromm percaya bahwa untuk mencapai kebebasan yang sebenarnya, seseorang harus mengenal diri sendiri dan menjalin hubungan yang kuat dengan orang lain.
Hierarki Kebutuhan Maslow: Dari Dasar Hingga Aktualisasi Diri
Sementara itu, Abraham Maslow terkenal dengan hierarki kebutuhan, sebuah piramida yang menggambarkan tahapan-tahapan kebutuhan manusia. Mulai dari kebutuhan paling dasar seperti makanan dan tempat tinggal, sampai puncaknya yaitu aktualisasi diri atau kondisi di mana seseorang menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
Menurut Maslow, kebutuhan ini harus dipenuhi secara bertahap. Manusia mulai mencari makna yang lebih dalam, seperti pengakuan, tujuan hidup, kreativitas, dan kontribusi pada dunia setelah memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Titik Temu: Menjadi Manusia yang Seutuhnya
Lalu, di mana letak keterkaitan antara Fromm dan Maslow?
Keduanya mengajak kita untuk melampaui kebutuhan materi dan mengejar hal yang lebih mendasar: kemanusiaan itu sendiri. Fromm menekankan pentingnya cinta dan kebebasan sebagai jalan menuju makna hidup, sedangkan Maslow menjelaskan bahwa kebutuhan semacam ini berada di puncak perkembangan manusia.
Di usia 20-an, banyak orang hidup seperti maraton tanpa garis akhir. Bangun pagi langsung cek notifikasi, siapin tampilan buat story Instagram, kerja atau kuliah seharian, terus malamnya nongkrong atau ikut webinar, biar tetap “produktif”.