Mencontek menjadi alternatif ketika soal yang diberikan adalah model pilihan ganda. Sebuah model soal yang penuh potensi "menjebak" dengan redaksi tawaran jawaban yang mirip.Â
Bagi anak-anak tertentu yang lemah ingatan, sangat berharap adanya keberuntungan. Mereka asal memilih jawaban, sesuai dengan yang terlintas di ingatan mereka. Maka sangat mudah ditemukan, anak-anak yang prestasi belajarnya biasa-biasa saja, dalam UN dapat memperoleh hasil yang baik. Sebaliknya, tak sedikit anak-anak yang dikenal pintar dan cerdas, nilai UN-nya justru jeblok.
Kita telah berbuat tidak adil kepada anak didik di SD sampai SMA. Aspek kognitif dan hafalan ditaruh di posisi pertama. Di ujian nasional mereka diberi soal dengan jawaban pilihan ganda (multiple choice), tanpa merangsang mereka untuk tahu, mengapa memilih jawaban A, B, C, D, E dan bagaimana prosesnya. Karena itu mereka merasa hanya perlu membaca poin-poin penting dari buku pelajaran. Bahkan yang lebih tragis, anak-anak yang cuma menghafalkan soal dan kunci jawabannya saja.
Pelajar hari ini (dan masa depan) tumbuh di era digital yang hampir meniadakan fungsi ingatan. Mereka hidup dengan seperangkat teknologi komunikasi. Untuk menghubungi seseorang melalui telepon seluler, mereka cukup mencari nama di buku telepon yang sudah disimpan. Ketika mencari jalan atau alamat, ponsel pintar yang memiliki GPS bisa membantu.
Dengan cara hidup seperti itu, otak manusia hanya digunakan untuk mengingat sesuatu yang elementer dalam hidupnya; tentang nama-nama teman, tempat, dan wajah orang-orang yang dijumpai. Kalau lupa, ada "mbah google" yang bisa ditanya. Untuk mengerjakan pelajaran, ingatan "hampir" tidak diperlukan karena tidak berkorelasi dengan hidup anak didik.
Dalam pendidikan tentu banyak pilihan, apabila saat kita berproses bukan tingginya nilai yang kita kejar akan tetapi ilmu yang bermanfaat untuk bekal di masa depan. Maka dari itu apabila kita ingin melihat wajah pendidikan Indonesia maka buku ini bisa di jadikan referensi. Selamat membaca.