Mohon tunggu...
Ngurah Parikesit
Ngurah Parikesit Mohon Tunggu... Dosen - PhD Candidate Melbourne Law School, Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana

Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, PhD Candidate Melbourne Law School, Australia

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kok Rapid Test Bayar?

22 Juli 2020   16:53 Diperbarui: 22 Juli 2020   16:56 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada hal yang membuat saya sedikit heran akhir-akhir ini, yakni  soal rapid test. Logika saya sederhana? Mengapa kita harus membayar sebuah test yang tingkat akurasinya pun diperdebatkan. Saya masih mencari adakah negara lain di dunia ini yg "mendewakan" rapid test seperti kita, dan menjadikannya sebagai syarat untuk melakukan perjalanan atau administrasi tertentu? Tulisan ini berupaya menggunakan Bahasa se-sederhana mungkin dan to the point...

Sebagai perbandingan, saya tinggal di kota Melbourne selama 4 tahun dan sudah melaksanakan swab test secara mandiri karena memang kota Melbourne saat ini menjadi "hotspot" area di Australia. Tapi yang membedakannya, swab test dilakukan secara gratis dan bisa dilakukan secara drive-through karena testing area banyak tersedia di pusat-pusat perbelanjaan, selain di klinik kesehatan. Jadi, melakukan swab test sangat mudah karena bisa dilakukan saat kita berbelanja, dan dengan sistem drive-through akan meminimalkan potensi kerumunan dan pelanggaran jarak physically distancing.

Perbedaan lain, tidak ada syarat hasil swab test apalagi rapid test untuk melakukan suatu perjalanan ke kota lain. Jika suatu daerah masih berstatus "merah" seperti Melbourne dan sekitarnya, ya otomatis mereka dilarang untuk keluar kota, dan kota-kota lain semisal Perth dan Adelaide sudah menutup pintu bagi orang orang Melbourne. Sebaliknya, karena sama-sama berstatus "hijau", orang-orang Perth dan Adelaide pun dapat mengunjungi satu sama lain dan tidak perlu syarat "tes-tesan" segala.

Walau begitu, saya masih bisa menerima pendapat bahwa masyarakat kita memang perlu dites COVID 19 sebanyak-banyaknya, semakin banyak semakin bagus apalagi kalau persentase orang yang terkena COVID 19 kebanyakan tidak memiliki gejala. Tetapi yang saya tidak setuju adalah mengapa kita harus membayar untuk test semacam ini? COVID 19 sudah sangat memukul perekonomian masyarakat. Lha sekarang kok ada pengeluaran tambahan untuk biaya tes?

Saya kembali teringat momen pertama kali menginjakkan kaki di kota ini. Hal yang membuat saya heran adalah ketika hidup sehari-hari, masyarakat disini tidak perlu membeli air minum karena kran air atau tap water dapat dikonsumsi dengan aman. Bandingkan jika 1 keluarga di Indonesia menghabiskan sekitar 75 ribu per minggu utk membeli air minum. 

Per bulan keluarga ini akan menghabiskan sekitar 300 ribu rupiah. Andaikan penghasilan mereka sekitar 3 Juta rupiah, maka 10 persen pengeluaran sudah habis hanya untuk membeli air minum. Sementara disini, sepasang suami istri yg bekerja full time bisa menghasilkan sekitar 300 AUD ( 3 Juta Rupiah) per hari tanpa perlu membeli air minum untuk kebutuhan sehari-hari. Di era pandemic, mereka pun tidak perlu mengeluarkan dana tambahan untuk keperluan Covid 19 tests. COVID tests are encouraged and they all are free dude!! Bahkan, mereka bisa mendapatkan bantuan dana 1500 AUD jika positif COVID 19.

Lalu saya teringat materi kuliah hukum saat berkuliah di kota Malang. Saya bukan orang yang ahli soal filsafat hukum tetapi paling tidak saya ingat konsep Negara Kesejahteraan alias Welfare State. Om Kranenburg bilang bahwa negara harus aktif mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat dan bukan hanya golongan tertentu saja. Lalu, turunan konsep ini adalah konsep kesejahteraan social alias Social Welfare. 

Artinya, negara harus menjamin kebutuhan material dan non-material masyarakatnya. Kesehatan adalah kebutuhan dasar yang bahkan bersifat material dan non-material karena ia tidak hanya soal biaya atau fasilitas kesehatan yg wajib ditanggung negara, melainkan juga soal rasa aman dan perlindungan dari ancaman penyakit yang mengancam nyawanya.

Kesejahteraan social juga sudah jelas tercantum dalam UUD 1945. Kita semua pasti familiar dengan frase perekonomian berdasar asas kekeluargaan, pembiayaan pendidikan dasar, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara hingga pengembangan sistem jaminan social. Kita pun memiliki Undang-Undang 10 tahun 2009 tentang Kesejahtaraan Social. 

Artinya dalam kondisi normal, negara harus berperan aktif untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya, khususnya pemenuhan kebutuhan dasar, baik material maupun non-material. Di kondisi darurat, negara harus lebih aktif lagi memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Bahkan saya melihat beberapa negara yg kita kenal sebagai negara liberal ternyata tiba-tiba bisa berubah menjadi negara sosialis di musim corona ini. Tetapi jangan sampai negara yang tidak mau disebut negara liberal tiba-tiba menjadi beneran liberal di era pandemik ini.

Undang-Undang  36 tahun 2009 tentang Kesehatan (menimbang poin c) secara ekspresif menyatakan "bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara". Secara ekstensif, saya menafsirkan bahwa pemerintah mengakui adanya gangguan kesehatan (wabah corona) mengakibatkan dampak perekonomian yg luar biasa bagi kehidupan masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun