Mohon tunggu...
Ngainun Naim
Ngainun Naim Mohon Tunggu...

Dosen STAIN Tulungagung, Penulis beberapa buku

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nasi Berkat

16 Mei 2013   08:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:30 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh Ngainun Naim

Saya tinggal di sebuah desa yang dinamis. Masyarakatnya memiliki pluralitas yang cukup lumayan, khususnya dalam dinamika sosial, politik, dan keagamaan. Pernah juga terjadi riak kecil pada era reformasi, tetapi itu hal biasa yang juga dialami oleh banyak desa lainnya di seluruh nusantara.
Saya tidak akan mengulas tentang kondisi desa secara keseluruhan, tetapi satu aspek saja, yaitu tentang ”nasi berkat”. Ya, saya orang yang dibesarkan dalam kultur Islam tradisional. Sampai saat ini pun tetap setia dalam kultur ini, walaupun pemikiran dan latar belakang pendidikan membuat saya memandang tradisi dengan perspektif yang lebih kritis.
Hidup di desa itu memiliki dinamika yang unik. Salah satu yang khas adalah tradisi slametan. Nyaris setiap minggu ada saja tetangga yang memiliki hajat. Sebenarnya saya tidak terlalu sering berada di rumah. Tempat kerja yang cukup jauh plus berbagai kegiatan lain menjadikan saya sering sampai rumah selepas magrib atau selepas isyak. Tetapi tetangga yang punya hajat selalu menitipkan ’nasi berkat’ jika acaranya waktu asyar.
Tentu saja, ini merupakan sebuah kehormatan sekaligus keberkahan tersendiri. Menurut pengalaman, nasi berkat itu rasanya lebih nikmat. Istri pernah bertanya mengapa rasa nasi berkat itu terasa lebih nikmat dibandingkan dengan nasi yang dimasak di rumah atau di warung-warung? Saya menjawab dengan asal-asalan bahwa karena doa yang dipanjatkan yang membuat nasi berkat memiliki rasa jauh lebih nikmat.
Saya mencoba mencari jawaban yang lebih ilmiah terkait fenomena nasi berkat ini. Dan secara kebetulan, saya menemukan tulisan Syamsul Ma’arif dengan judul ”Belajar, Hidup, dan Berislam di Amerika”, yang termuat dalam buku Berguru ke Kiai Bule, Serba-Serbi Kehidupan Santri di Barat terbitan Noura Books tahun 2013. Pada halaman 173, Ma’arif menulis:

”Menyajikan dan menyantap makanan di acara pengajian bukanlah semata aktivitas sekular, tetapi juga religius. Sekalipun ingredient-nya mungkin sama, fungsi makanan di pengajian berbeda dengan makanan di warung-warung, restoran-restoran atau makanan yang dimakan setiap harinya. Manfaat makanan di pengajian [dan juga slametan—Naim] tidak hanya mengenyangkan, tetapi juga menawarkan kepuasan batin karena terdapatnya elemen budaya dan agama yang menempel padanya. Bagi aku dan peserta pengajian, menghadiri pengajian adalah ibadah dan segala aktivitas selama pengajian adalah ibadah: menyajikan dan menyantap makanan adalah ibadah”.

Penjelasan Ma’arif ini menyadarkan saya akan dimensi nasi berkat. Karena itu, nasi berkat selalu dirindukan. Seorang teman yang tinggal di perumahan pernah bercerita betapa ia merindukan suasana slametan plus nasi berkatnya karena hal itu tidak lagi ia temukan di tempat tinggalnya sekarang. Jadi, hidup ’nasi berkat’. Salam [Trenggalek, 15/5/2013].

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun