Mohon tunggu...
Nurul Furqon
Nurul Furqon Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Nama saya Nurul Furqon, saya berasal dari kabupaten Sumedang, riwayat pendidikan saya SDN Babakandesa, SMPN 1 Cibugel, SMAN Situraja. Dan sekarang saya menjadi Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apakah Tuhan Itu Ada? Jawabnya Tergantung

28 April 2021   01:30 Diperbarui: 28 April 2021   01:58 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah Tuhan Itu Ada? Jawabnya Tergantung

Ketika kita berbicara tentang Tuhan maka kita akan terjebak dalam yang namanya keambiguan, konsep-konsep ketuhanan sangatlah paradoks, apalagi ketika kita menyangkut-pautkannya dengan realitas yang ada di dunia ini. Tuhan itu tidak terdiversifikasi dan Tuhan itu terverikasi, Tuhan terlalu abstrak untuk didefinisikan. Keterbatasan manusia akan pengetahuan mengenai Tuhan itu siapa menyebabkan polemik yang besar di antara umat, setiap agama mendeklarasikan bahwa Tuhan merekalah yang benar sebagai Tuhan yang menciptakan manusia, sampai lupa bahwa di mata semua manusia dari berbagai agama adalah benar ciptaan-Nya.

Tuhan hadir dengan segala kerahasiaannya, membuat anggapan manusia menjadi beragam, katakanlah Atheis yang mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, dan Theis mengatakan bahwa Tuhan itu ada. Lantas apakah benar Tuhan itu ada? Segala bentuk jawaban yang kita keluarkan itu berakhir dengan pertanyaan, jika kita mengatakan bahwa Tuhan itu ada, maka Tuhan siapa, dimana, dan sedang apa? dan ketika kita menjawab tidak ada, maka bagaimama semesta ini bisa ada? Baik Theis maupun Atheis mereka tidak bisa membuktikan membuktikan anggapannya secara konkrit.

Jawaban dari apakah Tuhan itu ada atau tidak ada, tergantung dari bagaimana kita memahami Tuhan seperti apa, jika kita menganggap Tuhan sebagai tempat kita menggantungkan diri, maka bukankah ketika kita mati tidak berkutik ketika dilanda ketidakpunyaan akan uang, dan menganggap uang sebagai jawaban dari kesengsaraan manusia, dengan demikian apakah kita telah menuhankan uang? Bukankah jika kita menuhankan sesuatu yang lain, kita telah menduakan Tuhan? Tentu tidak demikian konsepnya, Tuhan segala kemahakuasaannya menciptakan uang sebagai perantara untuk menjawab kesengsaraan manusia, namun manusia selalu menganggap uang adalah segalanya. Itu adalah sebagian kecil dari perilaku manusia yang melecehkan Tuhan.

Katakanlah bahwa Tuhan sebagai entitas yang nyata dan semesta beserta isinya adalah atribut dari Tuhan. Tuhan adalah sebab utama dari terjadinya semesta, dan seisi semesta menjadi sebab lanjutan. 

Pernyataan bahwa Tuhan itu segai sebab pertama didukung oleh pernyataan al-Kindi, dan Aristoteles memiliki anggapan bahwa hujan turun karena manusia, binatang, dan tumbuhan butuh minum, setiap segala hal yang terjadi di semesta ini telah diatur, dan memiliki alasan, yang mengatur itu adalah sesuatu yang Maha Kuasa, kita bisa mengakatakan sebab itu adalah Tuhan. Atau kita bisa melihat dari para filsuf alam yang mengatakan bahwa semesta ini diciptakan oleh sesuatu yang jauh diluar sana dan dialah yang memiliki kekuatan besar, karena yang bisa menciptakan semesta beserta isinya tentu pasti lebih besar dibandingkan semesta dan isinya, karena pencipta tidak mungkin sama dengan ciptaannya.

Ketika kita memahami Tuhan sebagai sesuatu yang tidak nampak namun ada, maka kita akan berbicara tentang teori realitas ganda dari plato, bahwa semesta ini terdiri dari dua alam, yaitu alam materi dan alam non materi, katakanlah dalam diri manusia teridiri dari jasad sebagai yang materi dan jiwa sebagai yang non materi. Maka Tuhan ada sebagai yang tidak nampak dan ada, Tuhan tidak nampak karena indrawi kita yang hidup di alam materi tidak akan pernah menjangkau Tuhan.

Lalu dimanakah letak Tuhan jika memang Tuhan itu ada, melihat dari mereka yang menganut aliran Sufistik beranggapan bahwa Tuhan itu ada dalam diri manusia, katakanlah Imam al-Araby yang mengatakan bahwa Tuhan itu ada dalam hati manusia. Hal ini sangat kental sekali dengan pernyataan "barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia telah mengenal Tuhan."

Ketika kita menjadikan Tuhan sebagai sebab pertama, maka jelas Tuhan lebih dulu ada sebelum ruang dan waktu tercipta, karena Tuhanlah yang menciptakan ruang dan waktu, maka itu selaras dengan pernyataan di suatu agama bahwa tuhan tidak bertempat dan tidak membutuhkan tempat, karena jika tuhan bertempat maka dahulu kala Tuhan berdiam diri di suatu tempat dan konsekuensinya tempat ada sebelum Tuhan dan atau tempat ada berbarengan dengan adanya Tuhan. Dan Tuhan itu ada tidak bisa dikatakan Tuhan ada sejak, karena ketika Tuhan menjadi yang pertama maka disana waktu belum ada.

Bagi sebagian orang mungkin tidak logis ketika mengatakan Tuhan itu ada namun tidak bertempat, karena yang ada pasti diam disuatu tempat, jelas bahwa Tuhan ada sebelum tempat itu ada, maka disini pun Tuhan ada dan tidak bertempat. Ketika kita memahami yang demikian, bukankah Tuhan tidak bertempat itu menjadi logis. Tuhan itu bisa dilogikakan apabila manusia mau berpikir.

Kita telah terlalu jauh, sebaiknya kita kembali pada pertanyaan pertana, apakah Tuhan itu ada? Jawabnya tergantung, kenapa demikian, karena setelah melihat uraian diatas, bahwa Tuhan tidak bertempat, maka tuhan bertempat secara transendental, dalam agama kita memahami Tuhan dengan keimanan atau keyakinan bahwa Tuhan itu ada, maka disini kita bisa mengartikan bahwa Tuhan ada bersamaan dengan keyakinan kita Tuhan itu ada, dan keyakinan itu adalah dalam diri kita.

Jawaban dari Tuhan itu ada atau tidak adalah Tuhan itu ada dalam diri kita. Lantas kenapa dikatakan tergantung? Karena ketika kita menghadirkan Tuhan maka Tuhan ada, dan ketika tidak menghadirkan Tuhan maka Tuhan itu tidak ada. Namun permasalahannya, manusia terkadang melupakan Tuhan. 

Bagaimana kita bisa mengatakan Tuhan itu ada, jika kita tidak menghadirkan Tuhan? Bagaimana kita bisa menghadirkan Tuhan, jika ingat pada Tuhan pun tidak? Sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan apakah kita telah menghadirkan Tuhan dalam diri kita? Atau kah kita telah membunuh Tuhan seperti yang dikatakan Nietzsche bahwa Tuhan telah mati. Tuhan tidaklah mati tetapi manusia dengan segala sikapnya telah membunuh Tuhan secara implisit.

Secara sederhana akan ku buat sebuah analogi ringan, coba bayangkan sepasang kekasih yang hidup dengan tempat yang berbeda, si laki-laki di Jakarta dan si perempuan di Bandung. Mereka memang secara ragawi mereka terpisah, tetapi secara batin meraka terhubung, karena mereka saling menghadirkan satu sama lain. Si laki-laki membawa perempuan itu dalam hatinya, sehingga dia tidak akan bermain kotor, atau mengkhianati perempuan itu, karena dia yakin bahwa dalam mereka, mereka saling melihat satu sama lain.

Jika ada sesuatu yang ingin didiskusikan, langsung saja tulis di kolom komentar

Terima Kasih

Salam Dari Penulis

Nurul Furqon

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun