Di era digital dan kapitalisme global, kita semakin diperlihatkan adanya keterkaitan spiritualitas seseorang dengan tekanan ekonomi. Dua hal yang sebetulnya tidak ada kemipiran di dalam nya, namun ternyata ketika disandingkan mampu menghasilkan keuntungan bagi pihak-pihak yang melakukan. Agama yang dahulu dipandang sebagai sesuatu yang sakral, kini dijadikan sebagi ladang cuan. Mulai dari berjualan air doa, garam ruqyah, hingga skincare-skincare berlabelkan halal. Bermunculan pula public figure yang menggunakan agama nya untuk mendapatkan antusias lebih dari para pengikutnya. Menyiarkan konten-konten agamis, Â menggunakan hijrah sebagai alat popolaritas.
Hijrah dikalangan artis semakin sering kita temukan. Yang semula tampil dengan pakaian mini kini datang dengan kerudung panjang menjuntai lalu menyuarakan bahwa dirinya akan berhijrah. Bukan menjadi masalah ketika seseorang memutuskan dirinya untuk menjadi pribadi yang lebih baik, namun yang disayangkan  perjalanan hijrah ini disandingkan dengan munculnya produk yang ia keluarkan. Produk yang dikeluarkan pun menggunakan unsur-unsur agama. Produk tersebut biasanya berupa mukena, gamis, bahkan umroh exclusive. Yang menjadi pertanyaan, apakah perjalanan hijrah ini benar-benar murni untuk menjadi pribadi yang lebih baik atau justru memanfaatkan situasi untuk motif ekonomi?
Yang menjadi keuntungan dari pola ini adalah digunakan nya unsur-unsur agama Islam dalam menarik minat masyarakat. Sesuatu yang dibungkus dengan agama cenderung mendapatkan perhatian lebih daripada yang tidak dibungkus dengan agama. Hal ini selaras dengan perkataan Ibnu Rusyd, seorang filosof Muslim pertama yang menyampaikan bahwa "Jika engkau ingin menguasai orang bodoh, maka bungkuslah dengan agama". Sehingga bukan suatu yang mustahil jika bisnis ini berjalan lancar. Penjualan yang menguntungkan, belum lagi jika harganya dinaikan berkali-kali lipat. Hanya bermodalkan produk kualitas biasa kemudian ditambahkan kalimat halal. Citra islami menjadi nilai jual yang menguntungkan. Agama bukan lagi dijadikan sebagai pedoman hidup yang menuntun umatnya kepada ajaran kebaikan, akan tetapi dijadikan label keuntungan bagi oknum-oknum yang melakukan.
Adanya hal ini membawa dampak yang lebih serius. Â Di satu sisi peningkatan religius pada masyarakat menjadi meningkat. Namun disisi lain, keimanan tersebut menjadi sebuah pertanyaan apakah benar adanya. Orang-orang disibukan dengan tampilan luar seseorang tanpa memaknai lebih jauh isi nya akan seperti apa. Dari luar terlihat meyakinkan, namun secara pemahaman cukup minim dibilang. Makna spiritual hilang tergantikan adanya algoritma dan branding semata.
 Citra Islam semakin hilang seiring berkembangnya zaman. Semua orang berlomba-lomba menampilkan sisi religius mereka untuk kekayaan dan popularitas semata. Adanya hal yang demikian, kita harus pintar dalam membedakan keimanan sejati dengan kepentingan pribadi yang dikemas Islami. Jangan sampai kita hanyut dalam arus deras nya. Peningkatan dan pengamalan nilai-nilai Islami harus selalu dijaga dan ditingkatkan. Semangat usaha atau ikhtiar tetap diiringi dengan inovasi kreatif yang sesuai dengan perkembangan zaman. Ketulusan, keikhlasan, dan kebenaran dalam beragama. Selektif dan lebih membuka mata akan keimanan yang sesungguhnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI