Kritik Maklumat Yogyakarta: Nostalgia atau Tuntutan Perubahan? Mencari Solusi Konstruktif Tanpa Kehilangan Nilai Demokrasi. Apakah Kita Perlu Kembali ke Sistem Lama atau Mencari Jalan Baru?
Indonesia adalah negara yang telah mengalami berbagai perubahan sistem pemerintahan, mulai dari era kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga reformasi. Salah satu isu yang kembali mengemuka adalah kritik terhadap sistem kelembagaan negara pasca-amandemen UUD 1945, sebagaimana yang disuarakan dalam Maklumat Yogyakarta. Maklumat ini menyoroti dugaan "pengkhianatan" MPR-RI dan menyerukan pengembalian sistem pemerintahan NKRI sebagaimana mestinya.
Namun, apakah benar sistem pemerintahan kita saat ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap NKRI? Apakah perlu kembali ke sistem lama, atau justru kita harus mencari solusi yang lebih relevan untuk menjawab tantangan zaman?
Perubahan Peran MPR dan Implikasinya
Sebelum reformasi, MPR memiliki kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. MPR bertugas menetapkan GBHN serta memilih dan memberhentikan presiden. Namun, setelah amandemen UUD 1945 (1999--2002), sistem berubah:
1. MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara dan berfungsi sebagai lembaga legislatif yang sejajar dengan DPR.
2. Pemilihan presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat, bukan lagi oleh MPR.
3. GBHN dihapus, digantikan oleh sistem perencanaan pembangunan nasional yang disusun pemerintah bersama DPR.
Perubahan ini dilakukan dengan harapan menciptakan sistem pemerintahan yang lebih demokratis dan akuntabel. Namun, setelah lebih dari dua dekade, muncul pertanyaan: apakah reformasi ini benar-benar membawa kebaikan, atau justru menimbulkan masalah baru?
Ketidakkonsistenan Arah Pembangunan