"Entek amek, kurang golek" 'Habis ambil, kurang cari" Alih bahasa :
wo wo wO WO ...
Saya cepet-cepetan translate kata-kata judul diatas.
Karena saya sengaja pakai bahasa daerah Jawa, jangan sampai ada yang salah paham, dikira saya menonjolkan ke'suku'an. Saya tidak bermaksud begitu, karena ungkapan itu asli punya orang Jawa.
Pak Karto memang pasutri teladan di desanya, cintanya tak perlu diragukan, pasangan suami istri yang 'endless love' banget. Tiada wanita lain di hidup pak Karto, demikian juga bu Karto yang namanya sendiri Sukarti, tapi lebih fasih dipanggil bu Karti.
Sepulang dari sawah, wajah suram nampak jelas pak Karto sedang bermuram durja.
Langsung pakai bahasa Indonesia saja yaa, biar nggak ribet.
"Pak'e ... knapa sampeyan kok kelihatan seperti mendhung suram gerimis mengundang, rehat dulu, minum air kendhi, biar anyes, sekalian makan gethuk goreng itu di lincak (bangku bambu) sudah tersaji, masih hangat." pak Karto tetap diam, wajah dilipat, kelihatan bete. Padahal bu Karti sudah menyambutnya dengan senyum manisnya.
"Entek amek, kurang golek" jawab pak Karto kemudian, sambil nenggak minum air tawar dari kendhi.
"Ya sudah to pak'e, habis ya ambil lagi, kalau kurang ya cari atau kalau ada uang ya beli lagi, gitu saja kok repot." tetap dengan sikap ramah dan bernuansa guyon / canda.
"Tidak begitu bu'ne."
"Hlaa trus bagaimana, sareh gitu ta, ... sabar, orang sabar disayang Tuhan." jawab istrinya dengan nada tenang, membuat sejuk suasana.
"Kang Diman itu looo ... tiap kali ketemu rembukan kok adanya cari salahnya liyan. orang lain." cerita pak Karto tentang kang Diman pegawai kelurahan.