"Kapan lagi kau mau mulai?" Ria bertanya.
Aku terdiam mendengar pertanyaan Ria. Percayalah ini bukan yang pertama kali pertanyaan ini terlontar padaku. Selama 10 tahun ke belakang, setidaknya Ria akan bertanya sekali dalam sebulan. Setidaknya! Yang terbanyak, dalam sebulan Ria bisa bertanya 3-5 kali. Oke, mari kita rata-ratakan saja. Jika dalam sebulan Ria bertanya padaku pertanyaan di atas sebanyak tiga kali, maka dalam setahun Ria mengajukan pertanyaan ini sebanyak empatpuluhdua kali. Sehingga, terkumpullah empatratusdua puluh kali dalam setahun! Empat.Ratus.Dua.Puluh.Kali.
"Kau sudah membaca banyak buku. Kenapa kau tidak mulai menulis?"
"Aku sudah menulis." jawabku tenang. "Aku punya buku catatan yang kugunakan untuk menuliskan apa pun yang aku ingin tuliskan."
"Aku tahu kau punya catatan sendiri. Tidak mungkin tidak. Pilihan kata yang kau gunakan banyak dan sangat beragam. Cara kau menyampaikan sesuatu selalu menggunakan kalimat-kalimat panjang sarat makna. Manalah mungkin kau bisa menyusun kalimat panjang seperti itu tanpa kau melatihnya dalam pikiranmu dan kau tuangkan dalam catatan pribadimu. Jangan lupa, Sofia,"Â lanjut Ria, "Kau pernah menunjukkan catatanmu pada kami. Padaku, sudah beberapa kali."
"Naah... Kau pun tahu."
"Maksudku, bukan menulis untuk dirimu sendiri. Tapi, menulislah untuk dibaca yang lain. Kau sudah membaca banyak buku. Jumlah buku yang kau baca, bahkan lebih banyak dibandingkan semua buku teks pelajaran sekolah mulai dari SD sampai SMA. Bayangkan jumlahnya! Kalau kau sudah bisa membayangkan jumlahnya, maka bandingkan jumlah buku yang kau baca kini. Lebih banyak, Sof. Lebih banyak!" bersemangat Ria.
***
"Koq, kesannya aku ini sangat memaksakan keinginanku padamu, ya, Sof?" tanya Ria mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Aku tersenyum simpul. Sungguh retorika!
"Ku rasa, sampai muak perasaanmu setiap kali aku memintamu memulai menulis." Ria mulai lagi.