Mohon tunggu...
Netti Kurniati
Netti Kurniati Mohon Tunggu... -

I want to be something, something meaningful and full of meaning

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lebaran Di Senja

15 Maret 2012   06:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:01 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja itu selalu cantik, seperti emas berbaur dalam garangnya warna merah. Tapi, selalu indah. Selalu membenam dan menaklukkan matahari dengan caranya yang elegan. Matahari selalu tunduk dalam pangkuan senja. Tapi, senja kali ini tak cantik, bahkan aku tak memahami entah bagaimana senja yang satu ini membuatku kian gamang mengartikan sebuah kehidupan.

“Mbah Mar, makan dulu ya. Nunik bawakan bubur, tapi tenang saja kali ini tidak pakai ayam hanya bubur,” aku mencoba memasukkan sesuap bubur kepada wanita ringkih berumur mendekati kepala tujuh ini.

Dia menunduk saja, tak ada gerakan seperti biasa. Kalau pun dia mau memakannya pasti dengan tindakan protes, hampir dua tahun aku mengurusi wanita yang menurutku pasti dia cantik selagi muda. Aku mendekat, mendongakkan dagunya. Lalu seperti menyuapi anak kecil, aku membuat gerakkan seolah sendok itu adalah pesawat terbang yang siap landas. Tanganku ditepis, lagi untuk kesekian kali tanpa suara hanya gerakkan tangan yang menandakan dia menolak, sendok berisi bubur jatuh. Tanganku hilang keseimbangan, mangkuk yang kupegangi pun tumpah. Seragam putihku basah, hangat merambat ke kulit bagian perutku.

Aku menghela napas, “Ya sudah, kalau memang enggak mau makan Mbah Mar kan bisa bilang.”

Kupungut sendok dan juga mangkuk yang berserak. Aku melangkah ke luar meninggalkan Mbah Mar sendiri di kamarnya yang hanya melulu putih. Tak ada yang heran melihat seragamku kotor kena bubur. Seperti biasa, perawat lain sudah paham, kalau jam jagaku mengurus Mbah Mar pasti berakhir tragis.

“Mbak, tolong pel lantai kamar 56 ya, kamarnya si embah. Biasa, buburnya tumpah,” aku meminta cleaning service panti untuk membersihkan kamar Mbah Mar.

Dia hanya mengangguk dan bergegas mengambil alat pel dan ember berisi air, aku melangkah menuju dapur dan meletakkan mangkuk dan sendok yang telah habis, gagal lagi aku memaksa si mbah makan. Tapi, kalau sudah lapar biasanya dia tidak akan menolak. Suasana hati perempuan berumur itu tak bisa ditebak. Aku mengibas seragamku dan mengelapnya dengan kain basah, mencoba untuk membersihkan. Bekas bubur sangat lengket. Tak terlalu berhasil, tapi lumayan setidaknya bekas buburnya tak begitu tampak lagi, tapi kini seragamku sempurna basah.

Aku melangkah gontai, senja mulai merangkak. Walau matahari sudah mulai tenggelam, tapi peluhku menjalari bagian punggung. Hampir dua tahun mengurusi Mbah Mar, tak pernah sekali pun aku melihat anaknya berkunjung. Aku hanya mendengar kabar dari kepala perawat kalau anaknya hanya satu, laki-laki. Sibuk dengan pekerjaannya, dan di luar negeri. Kupelajari berkas-berkas mengenai perjalanan hidup Mbah Mar, tapi tak ada sedikit pun catatan yang menunjukkan Mbah Mar punya gangguan kesehatan atau kejiwaan. Aku duduk di ruangan jaga. Menulis laporan tentang Mbah Mar siang ini.

“Eh Nik, si embah enggak mau makan lagi,” Rima yang baru selesai mengontrol nenek-nenek lainnya mengambil kursi dan duduk bersebelahan denganku.

Aku mengangguk lemas.

“Ya, nih hasilnya,” aku menunjuk bekas bubur yang tumpah sambil menatap hampa padanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun