Mohon tunggu...
Nesha Rafa
Nesha Rafa Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa ekonomi pembangunan yang masih berusaha memahami pembangunan... dan pengeluaran pribadi :)

Selanjutnya

Tutup

Film

Ketika Film Bukan Sekadar Hiburan: Mendorong Perfilman Indonesia dalam Ekonomi Kreatif

21 Juni 2025   17:30 Diperbarui: 21 Juni 2025   17:32 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cinema (Sumber: Pinterest)

Ekonomi kreatif saat ini menjadi salah satu sektor yang terus berkembang pesat di Indonesia. Menurut pernyataan Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, kontribusi sektor ini terhadap PDB Indonesia meningkat lebih dari dua kali lipat dalam sebelas tahun terakhir, dengan nilai yang kini mencapai lebih dari Rp1.500 triliun. Selain itu, sektor ini juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, yaitu mencapai 26,5 juta orang pada akhir tahun 2024 (Sumber: CNBC Indonesia, 2025). Dari 17 subsektor ekonomi kreatif yang ada, perfilman—termasuk animasi dan video—menjadi salah satu yang paling menjanjikan. Sayangnya, potensi besar ini belum sepenuhnya tergali dan dimaksimalkan, sehingga perfilman Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan industri film besar seperti Hollywood maupun Korea Selatan.

Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa geliat perfilman Indonesia mulai menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan yang positif. Hal ini terlihat dari jumlah penonton yang terus meningkat, dan deretan film lokal yang mulai ramai mengisi layar bioskop nasional. Namun di tengah geliat ini, ada satu hal yang masih mengganjal di benak saya: mengapa Indonesia masih terlalu sering bermain aman dalam produksi filmnya? Mengapa kita belum sepenuhnya berani menggali potensi cerita yang lahir dari tanah kita sendiri?

Seperti yang kita ketahui, Indonesia memiliki kekayaan budaya dan sejarah yang luar biasa. Kita tumbuh dengan cerita rakyat seperti Roro Jonggrang, Malin Kundang, Timun Mas, dan berbagai legenda lokal lainnya. Kita juga memiliki jejak sejarah kerajaan besar seperti Majapahit, Sriwijaya, Kutai, dan Mataram. Kisah-kisah semacam ini seharusnya tidak hanya diwariskan secara lisan, atau sekadar dibukukan, tetapi juga sangat layak untuk diangkat menjadi film layar lebar atau serial epik yang dapat dinikmati lintas generasi.

Negara-negara lain telah berhasil membuktikan bahwa sejarah dan budaya lokal bisa menjadi kekuatan dalam industri film. Korea Selatan, misalnya, mampu mengemas sejarah dan budayanya menjadi drama kolosal yang mendunia. Jepang juga menjadikan kisah samurai dan mitologi lokal sebagai inspirasi puluhan anime dan film berkualitas tinggi. Maka pertanyaannya adalah: jika mereka bisa mengangkat budaya dan sejarahnya menjadi karya yang mendunia, mengapa kita justru ragu untuk mempercayai kekayaan cerita kita sendiri?

Meski potensi naratif kita begitu besar, industri perfilman nasional belum sepenuhnya memanfaatkannya. Salah satu hal yang cukup saya sayangkan adalah kecenderungan perfilman Indonesia yang kurang berani dalam bereksplorasi. Hal ini tercermin dari tren film Indonesia yang masih didominasi oleh genre horor, yang tak jarang kualitas ceritanya tidak sebanding dengan potensi visual dan produksinya. Di sisi lain, beberapa rumah produksi tampaknya lebih memilih membuat ulang film asing daripada menciptakan karya yang orisinal dan mencerminkan identitas bangsa.

Keterbatasan eksplorasi genre dan kurangnya keberanian menciptakan karya orisinal tentu menjadi ironi tersendiri, terutama jika kita mengingat bahwa Indonesia pernah menghasilkan film yang mampu bersinar di panggung dunia. The Raid adalah contoh nyata film Indonesia yang berhasil menarik perhatian internasional dan meraih banyak pengakuan. Film tersebut tidak hanya mengubah standar film aksi nasional melalui adegan perkelahian yang realistis dan koreografi yang epik, tetapi juga memperkenalkan pencak silat ke khalayak global. Pada intinya, The Raid menjadi bukti bahwa ketika sebuah film diproduksi dengan niat, totalitas, dan kualitas, maka ia memiliki peluang besar untuk meraih perhatian luas, bahkan melampaui batas negara.

Menurut saya, inilah saatnya perfilman Indonesia lebih percaya diri. Bukan hanya dari sisi teknis produksi, tetapi juga dari kekuatan cerita dan arah visi kreatifnya. Namun, kepercayaan diri itu tidak bisa tumbuh sendirian. Pemerintah perlu lebih serius dalam mendukung ekosistem industri film—bukan hanya melalui festival atau penghargaan, tetapi juga melalui pendanaan, pelatihan SDM kreatif, dan regulasi yang melindungi karya-karya lokal. Masyarakat pun memiliki peran penting dengan menjadi penonton yang mengapresiasi hasil karya sineas lokal, salah satunya dengan tidak menonton film dari situs ilegal.

Dengan adanya kontribusi dari semua pihak, saya membayangkan suatu hari kita bisa menyaksikan film Indonesia yang tidak lagi berpaku pada genre horor atau remake film asing. Mungkin kita dapat menyaksikan film atau serial kolosal tentang kerajaan Nusantara, yang sekelas dengan Game of Thrones atau drama kolosal Korea Selatan. Semua ini bukan karena kita ingin meniru, tetapi karena kita sadar bahwa sejarah kita pun tak kalah megah, dan kita mampu menghasilkan karya yang berkualitas asalkan kita mau menggali cerita dan memproduksinya dengan sungguh-sungguh.

Pada akhirnya, perfilman bukan hanya tentang hiburan, tetapi juga bagian penting dari ekonomi kreatif Indonesia. Di tengah tingginya antusiasme masyarakat terhadap film, tersimpan potensi besar untuk membangun ekosistem perfilman nasional yang kuat. Jika potensi ini digarap secara serius, maka bukan hanya identitas budaya yang terangkat, tetapi juga kontribusi nyata terhadap pertumbuhan sektor ekonomi kreatif secara keseluruhan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun