Mohon tunggu...
Ners Michael M
Ners Michael M Mohon Tunggu... Perawat - Perawat

Praktisi dan Edukator Keperawatan

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Ini Sebab Perbedaan Kualitas Pelayanan RS Swasta dan RS Pemerintah

3 Januari 2024   13:27 Diperbarui: 3 Januari 2024   13:36 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Perbedaan kualitas pelayanan di Rumah Sakit Swasta dan Pemerintah selalu menjadi topik yang hangat diperbincangkan, banyak video pendek, artikel, komentar netizen yang membahas hal ini dan berseliweran di dunia maya. Penulis tidak akan membahas mengenai apa saja perbedaan kualitas pelayanan antara Rumah Sakit Swasta dan Rumah Sakit Pemerintah. Penulis akan fokus menganalisa mengenai faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perbedaan itu terjadi.

Sebelum itu, penulis ingin mengerucutkan pembahasan ini berdasarkan sudut pandang penulis sebagai seorang Perawat. Analisa yang penulis sampaikan hanya disempitkan pada profesi perawat dan belum tentu bisa menjadi tolak ukur profesi lain, yaa meskipun dalam kondisi dan situasi yang sama bisa saja ada kemiripan respon sikap dari masing-masing profesi yang ada di Rumah Sakit.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit didalam pasal 1 (satu) ayat 1 (satu) mendefinisikan Rumah Sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyedikan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah Sakit yang selanjutnya kita sebut RS merupakan sektor yang kompleks dalam penyelenggaraanya. RS dituntut untuk selalu menyediakan pelayanan yang baik kepada setiap pasien yang datang berobat.

Sebelum masuk jauh ke pembahasan, penulis mengajak pembaca untuk masuk ke sebuah simulasi pasien yang hendak berobat ke RS, bisa dibayangkan bagaimana seorang pasien yang hendak berobat ke RS perlu melakukan pendaftaran, menunggu antrian, kemudian diperiksa oleh Perawat dan dikaji oleh Dokter, mendapat resep yang kemudian diberikan kepada Farmasi untuk disiapkan obat sesuai resep, melakukan pembayaran, dst. Kondisi tersebut merupakan alur ideal dan paling umum terjadi di banyak tempat di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes). Dengan alur tadi setidaknya pasien perlu berhadapan dengan beberapa orang mulai dari front office yang mengurus administrasi pendaftaran, perawat, dokter, apoteker, kasir, dst. Sekarang bisa dibayangkan bila ada 20-30 pasien atau lebih yang hendak berobat di waktu yang hampir bersamaan, tentu situasi akan semakin dinamis.

Pasien yang datang dengan keluhan dan sakit yang berbeda-beda tentu memiliki keinginan untuk mendapatkan pelayanan yang baik, mudah, cepat, ringkas. Kondisi pasien yang sedang sakit secara tidak langsung membuat pasien menjadi mudah marah dan kehilangan kesabaran. Tidak jarang muncul celetukan dari pasien, 'saya sudah sabar menahan sakit, masa harus disuruh sabar antri juga sihh..' dst... dst... Latar belakang pendidikan pasien pun secara tidak langsung mempengaruhi respon dan cara bersikap pasien menghadapi situasi di RS. Belum lagi proses perjalanan menuju RS yang mungkin tidak mudah bagi sebagian pasien karena harus naik angkutan umum, berdesakan, kehujanan, dll. Semakin mengikis kesabaran pasien. Karena tidak jarang pasien meluapakan emosi nya di RS karena terlibat masalah di perjalanan menuju RS.

Hal lain yang akan membuat semakin "seru" ketika pasien yang mungkin tidak terbiasa dengan metode pendaftaran online (beberapa RS sudah menerapkan ini), perlu melakukan reservasi, atau pasien yang bermasalah dengan asuransi, asuransi yang tidak meng-cover biaya pengobatan untuk diagnosa tertentu, atau benefit asuransi yang sudah habis, dsb, sehingga memerlukan waktu lebih untuk melakukan pengajuan dan verifikasi kepada asuransi. Hal-hal tersebut terkadang membuat pasien jengkel dan akhirnya meluapkan emosi nya kepada pihak RS. Padahal, urusan itu tidak ada kaitannya dengan RS, urusan itu harusya diselesaikan oleh pasien dengan pihak asuransi. Atau pada kondisi lain, semisal pasien dalam kondisi darurat, harus dilakukan tindakan cito untuk segera operasi, dsb. Secara tidak langsung akan mempengaruhi kondisi emosional daripada pasien dan keluarga pasien.

Kita kembali kepada pembahasan inti dari tulisan ini, setelah melakukan simulasi sebagai pasien yang menerima pelayanan di RS, penulis akan mengajak pembaca untuk bersimulasi menjadi penyedia pelayanan di RS dalam hal ini orang yang bekerja di area pelayanan, karena area pelayanan dan office atau manajemen tentu memiliki siklus dan dinamika kerja yang berbeda. Untuk memudahkan, kita sederhanakan jam kerja pegawai RS adalah 8 jam. Sebagai orang yang bekerja dipelayanan di Fasyankes, akan sulit untuk mendapatkan jam istirahat di tengah-tengah jam kerja, pegawai RS biasanya "nyuri" waktu istirahat untuk makan dll ketika memang ada yang mem-back up atau mungkin ketika tidak ada pasien. Jadi bisa dibayangkan akan selelah apa jika pada saat bekerja jumlah pasien banyak sehingga tidak ada waktu untuk beristirahat.

Identik dengan pasien, pegawai RS pun melakukan perjalanan dari rumah ke RS, dan mungkin sebagian mengalami pengalaman atau kondisi yang tidak menyenangkan selama di perjalanan. Tapi ketika sudah bekerja, dituntut untuk tetap memberikan pelayanan yang professional kepada pasien-pasien yang hendak berobat ke RS. Kondisi ini mungkin akan berbeda apabila sedang dalam kondisi lembur, atau bekerja di shift malam, sehingga harus menahan rasa kantuk dsb. Dan penulis sadar betul bahwa hal tersebut adalah konsekuensi dari tugas dan tanggung jawab bekerja di sektor pelayanan di Fasyankes dalam hal ini RS. Jadi, suka tidak suka, harus tetap professional dalam bertugas.

Dari uraian diatas, penulis ingin memberikan keterangan di awal bahwa analisa ini berdasarkan pengalaman penulis sebagai Perawat, yang sebelumnya pernah menjadi mahasiswa, pernah menjadi pasien dan juga keluarga pasien yang mencicipi pelayanan di RS Swasta dan RS Pemerintah. Jadi bisa saja analisa yang penulis sampaikan belum seakurat teman-teman yang sudah berkutat di area manajerial RS. Dan yang terpenting, ini berdasarkan sudut pandang Perawat, jadi kondisi dan situasi belum tentu sama dengan profesi lain di RS.

Dari sekian banyak perbedaan pelayanan di RS Swasta dan RS Pemerintah, kita sempitkan saja pembahasan pada beberapa aspek, mulai dari tingkat keramahan, kedisiplinan, etos kerja. Menurut penulis, yang menjadi faktor utama perbedaan kualitas pelayanan adalah rasio tenaga antara jumlah Perawat dan Pasien. Pasien yang berobat ke RS Pemerintah cenderung lebih banyak dibandingkan yang berobat ke RS Swasta. Meskipun jumlah Perawat di RS Pemerintah banyak, tetapi rasio nya tidak sebanding, sehingga pelayanan yang diberikan tidak bisa maksimal, pengkajian tidak komprehensif, karena dikejar waktu untuk mengkaji semua pasien yang ada. Bisa dibayangkan jika seorang perawat harus melakukan pengkajian yang komprehensif sedangkan ada antrian pasien lain yang terus berdatangan. Maka kesan perawat yang cuek, jutek menjadi imbas dari kondisi ini.

Rasio tenaga di RS Swasta berdasarkan pengalaman penulis, masih cukup berimbang, meskipun jumlah perawat sedikit, tapi tetap bisa menghandle pasien dengan cukup baik. Ya meskipun ada juga beberapa manajemen RS yang "berlindung" dibalik program utilisasi tenaga demi menghemat jumlah SDM sehingga rasio perawat : pasien menjadi tidak berimbang. Tapi secara umum rasio Perawat : Pasien di RS Swasta masih lebih baik dibandingkan di RS Pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun