Ini sebuah kisah yang di ambil dari buku " Setengah Isi Setengah Kosong" karangan Parlindungan Marpaung, mungkin dapat menjadi inspirasi bagi kita para orang tua.
Dikisahkan sepasang suami istri yang bekerja meninggalkan anak yang berusia tiga tahun bernama Ita, bersama sang pembantu di rumah. Namanya juga anak-anak suka mengeksplorasi diri, Ita pun demikian sambil bermain dia mencoret-coret tanah di halaman dengan lidi, sementara pembantunya menjemur kain dekat garasi. Puas dengan mencoret tanah Ia menemukan sebuah paku berkarat dan mulai mencoba untuk menggores-gores mobil ayahnya yang berwarna hitam. Karena masih baru, mobil tersebut jarang digunakan oleh ayahnya ke kantor. Maka penuhlah mobil tersebut dengan coretan gambar Ita.
Begitu ayahnya pulang, dengan bangga Ita memberi tahu tentang gambar-gambar yang sudah dibuat di mobil baru ayahnya tersebut. Bukan pujian yang diterimanya, melainkan kemarahan yang sangat besar. Pertama kali yang kena damprat adalah sang pembantu. Baru giliran anaknya yang dihukum. Demi kedisiplinan anak, maka si Ayah mulai mengajarkan anaknya, tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan pukulan. Dipukullah kedua telapak tangan dan punggung tangan anaknya dengan apa saja yang ditemukan di situ. Mulai dengan mistar, ranting, sampai lidi disertai dengan luapan emosi yang tidak terkendali.
"Ampuuun, 'Bah!, sakit..., sakit..Ampun!" jerit Ita sambil menahan sakit di tangannya yang sudah mulai berdarah-darah. Si Ibu hanya diam saja, seolah-olah merestui tindakan disiplin yang di tegakksn oleh suaminya,
Puas menghajar, si ayah menyuruh pembantu untuk membawa Ita ke kamarnya, Dengan hai yang teriris, sang pembantu membawa Ita ke kamarnya. Sore hari ketika dimandikan, Ita menjerit-jerit menahan pedih. Esoknya tangan ita mulai membengkak, sementara ayah ibunya tetap bekerja seperti biasa. Ketika dilaporkan oleh pembantunya, ibu Ita hanya mengatakan, "Oleskan obat saja!".
Hari berganti hari, hingga suhu badan Ita mulai panas karena luka di tangannya sudah terinfeksi. Ketika dilaporkan orang tuanya pun hanya mengatakan supaya diberi obat penurun panas, Hingga suatu malam panasnya semakin tinggi, bahkan ia mulai menggigau. Buru-buru mereka membawa Ita yang sudah nampak melemah ke rumah sakit  pada malam itu juga
Hasil diagnosis dokter menyimpulkan bahwa demam Ita berasal dari tangannya yang sudah infeksi dan busuk akibat luka-lukanya. Setelah seminggu di opname di sana, dokter memanggil ayah dan ibunya dan mengatakan, "Tidak ada pilihan lain...".
Dokter mengusulkan agar kedua tangan anaknya itu di amputasi karena infeksi yang terjadi sudah terlalu parah. "Ini sudah bernanah dan membusuk, untuk menyelamatkan nyawa Ita, tangannya harus diamputasi".
Mendengar berita itu, orang tua Ita bagaikan disambar petir. Dengan air mata berurai dan tangan yang bergetar, mereka menandatangani surat persetujuan amputasi anak yang paling dikasihinya.
Setelah sadar dari pembiusan operasinya, Ita terbangun sambil menahan rasa sakit dan bingung melihat tangannya dibalut kain putih. Lebih kaget lagi, dia melihat kedua orang tuanya dan pembantunya menangis di sampingnya, Sambil menahan rasa sakit, Ita berkata kepada orang tuanya, "Abah..Mama.., Ita tidak akan melakukannya lagi lagi..., Ita sayang Abah, sayang Mama, juga sayang Bibi. Ita minta ampun sudah mencoret-coret mobil Abah!". Si ibu dan ayah semakin menagis mendengar kata-kata Ita tersebut.
"Bah., sekarang tolong kembalikan tangan Ita, untuk apa diambil. Ita janji tidak akan melakukannya lagi. bagaimana kalau nanti Ita mau main dengan teman-teman karena tangan ita sudah diambil. Abah..Mama..., tolong kembaliin, pinjam sebetar saja. Ita mau menyalami Abah, Mama dan Bibi untuk minta maaf!".
Menyesal bagi kedua orang tua Ita sudah tiada guna, nasi sudah menjadi bubur.
Bagai mana dengan anda, para orang tua.., Hukuman memang perlu....tapi...???