Ketiga, memecah-belah hubungan kekerabatan dan hubungan antar manusia
Keempat, menambah beratnya beban ekonomi keluarga dan masyarakat.
Larangan ini menuai protes dari mayoritas masyarakat atoin meto yang menganut ajaran agama Katholik di wilayah Keuskupan Atambua termasuk penulis sebagai atoin meto.
Menurut penulis, alasan pertama pelarangan hel keta adalah urusan iman Katholik yang perlu diselesaikan dalam lingkup jemaat bukan hanya di lingkup petinggi gereja. Kemudian jika benar-benar tidak diizinkan dalam ajaran agama Katholik maka tidak menimbulkan reaksi keras dari umat.
Namun, jika penulis diizinkan untuk mengemukakan pendapat, maka bagi penulis, gereja Katholik semestinya memfasilitasi ritual hel keta dengan doa bersama untuk mengakhiri sumpah permusuhan oleh para nenek moyang. Bukankah gereja menginginkan sebuah perdamaian dalam hati setiap manusia?
Alasan kedua, ketiga dan keempat dalam larangan terhadap hel keta terkesan ada upaya untuk menghancurkan tradisi karena tidak ada kajian yang membuktikan bahwa hel keta tidak memiliki dasar dalam kehidupan sosio-kultural atoin meto.
Tidak ada penelitian yang membuktikan bahwa hel keta memecah-belah hubungan kekerabatan dan hubungan antar manusia. Juga, tidak ada penelitian yang membuktikan bahwa hel keta menambah beratnya beban ekonomi keluarga dan masyarakat.
Jika ada kajian dan penelitian yang dijadikan sebagai dasar larangan maka kajian dan penelitian-penelitian tersebut harus melalui proses diskusi akademik yang panjang dengan melibatkan semua unsur termasuk para pelaku budaya yaitu masyarakat atoin meto itu sendiri. Agar tidak ada multitafsir dari masyarakat terhadap surat larangan tersebut.
Salam!
Referensi: Media Kupang
Timor Tengah Selatan, 08 Februari 2022
Neno Anderias Salukh