Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Inilah "Risiko" Kabinet Jokowi-Ma'ruf

22 Oktober 2019   00:43 Diperbarui: 22 Oktober 2019   10:47 1173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joko Widodo saat pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Minggu (20/10/2019).

Saya tidak tahu berapa banyak orang yang mengamati pembentukan kabinet Jokowi yang membutuhkan penundaan beberapa kali tetapi ini sangat berisiko. Mengapa?

Pembentukan Kabinet Kerja Jilid II Jokowi layaknya sebuah drama. Negosiasi antara kubu oposisi dengan kubu pemerintah mengisyaratkan bahwa oposisi bakal hilang meski partai koalisi oposisi pecah dan ada yang memilih tetap menjadi oposisi; keseimbangan dalam pemerintahan akan sulit tercipta karena berkurangnya power oposisi.

Disisi lain, ada kecemburuan didalam kubu pemerintah. Erick Thohir sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf menyinggung manufer politik oposisi, terkait dengan jabatan dalam pembentukan kabinet.

"Saya selalu bilang siapa pun yang terpilih saya berharap orang-orang yang berkeringat kemarin," ujarnya di Gedung Sekretariat Kabinet, Jakarta, Kamis (17/10/2019).

Namun, kecemburuan dan komentar-komentar serupa sudah kerap didengar dari kubu pemerintah sejak awal manufer politik oposisi yang dipimpin oleh Prabowo Subianto.

Bahkan, menjelang pengumuman kabinet, Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh masih berkomentar bahwa ia akan memilih menjadi oposisi jika tidak ada oposisi.

"Kalau tidak ada lagi yang beroposisi, demokrasi berarti sudah selesai. Negara sudah berubah menjadi otoriter atau monarki ya kalau enggak ada oposisi. Kalau tidak ada yang oposisi, Nasdem saja yang jadi oposisi," kata Surya Paloh.

Meski kalimat Surya Paloh merujuk pada bahaya negara tanpa oposisi, sejatinya ada secuil kecemburuan yang tidak dapat diutarakan secara langsung olehnya. Justru komentarnya menyatakan tidak persetujuan jika Prabowo merapat ke kubu pemerintah.

Rupanya manufer politik oposisi dan kecemburuan didalam kubu pemerintah mengusik hak prerogatif Presiden Jokowi dalam menentukan kabinetnya.

Buktinya, Jokowi yang berjanji kepada publik bahwa kabinet akan diumumkan pada saat pelantikan presiden (20 Oktober 2019), dipending tanpa alasan yang jelas.

Bahkan ia berjanji akan mengumumkannya secara resmi pada Senin pagi (21 Oktober 2019) pun tidak ditepati. Tribunnews memberikan konfirmasi bahwa pengumuman kabinet akan dilakukan pada hari Rabu.

Janji Jokowi hanya diperlihatkan dengan lalu-lalang beberapa tokoh berbaju putih di istana. Media menyebut mereka sebagai orang yang akan mengisi kabinet Jokowi-Ma'ruf.

Seperti Erick Thohir, Airlangga, Whisnutama, Makarim bukan rahasia lagi jika mereka akan membantu Jokowi sebagai menteri. Bahkan, Prabowo sudah memberitahukan kepada media bahwa ia akan membantu Jokowi di bidang pertahanan.

Tertundanya pengumuman kabinet sebagai bukti Jokowi ada di antara dilema dan galau dalam menentukan kabinetnya. Dilema bekerjasama dengan oposisi dan galau dengan sikap partai koalisi seperti Nasdem yang memberi isyarat tidak setuju dengan keputusan merapatnya oposisi kepada pemerintah.

Dilema ini telah tercipta sejak Roadshow Prabowo Subianto mengelilingi semua partai koalisi Jokowi. Akibatnya, penetapan kabinet yang tak kunjung selesai.

Jokowi yang selama ini mengatakan kepada media bahwa penyusunan kabinet telah rampung sepertinya hanyalah sebuah harapan kosong untuk menghentikan pertanyaan media terkait dengan deadline pengumuman kabinet.

Menjelang pelantikan presiden, politisi Nasdem selaku Gubernur NTT, Viktor Laiskodat mengatakan bahwa ia ditawar oleh Jokowi untuk menjabat sebagai Menteri.

Semua hal di atas adalah secuil bukti dari segerombolan bukti bahwa menjelang pelantikan bahkan pada saat pelantikan pun masih ada perombakan dalam penyusunan kabinet Jokowi. Belum ada kepastian siapa saja yang harus membantu Jokowi selama rezimnya berjalan.

Ini sangat berisiko. Seleksi terhadap mereka yang akan duduk sebagai menteri tidak menjadi efektif. Professionalisme, kapasitas dan integritas tidak lagi menjadi parameter untuk menilai kelayakan seseorang menduduki kursi kabinet.

Syarat menjadi menteri terkesan akan dihilangkan; seleksi tidak lagi berjalan sesuai dengan alur karena Jokowi akan buru-buru untuk menjawab pertanyaan publik. Bukan itu. Wajib diumumkan secepatnya.

Seperti ini akan berpotensi buruk pada kinerja pemerintah. Professionalisme, kapasitas dan integritas yang kurang bahkan tidak dimiliki oleh para doulosnya.

Bukan hal yang mustahil, jika beberapa program kerja Jokowi akan gagal dilaksanakan dan mungkin akan terantuk pada batu yang sama.

Periode pertamanya bersama Jusuf Kalla, hanya membutuhkan waktu satu tahun untuk Jokowi mulai melakukan reshuffle kabinet. Bahkan dalam masa kerjanya reshuffle kabinet dilakukan sebanyak tiga kali.

Bukti bahwa, menteri yang dicopot tak mampu menginterpretasikan visi dan misi Jokowi. Bagi penulis, kegagalan tidak mencapai tujuan dan sasaran program adalah penyebab reshuffle terus dilakukan.

Seorang menteri baru akan mendesain program kerjanya berbeda dari menteri yang lama. Karena itu, ia harus berjalan dari nol; memulai layaknya seorang bayi.

Kita melihat Susi Pudjiastuti yang konsisten dengan program kerjanya berbeda dengan menteri pendidikan yang berpindah tongkat dari Anis Baswedan ke Muhadjir Effendy.

Kasus pelanggaran HAM yang menjadi agenda Jokowi pada periode pertama masih saja menjadi teka-teki dibawah komando Wiranto sebagai Menkopolhukam yang baru menjabat pada tahun 2016.

Risiko pada kabinet Jokowi jilid II ini diperkuat dengan keputusan Jokowi tidak melibatkan KPK dalam seleksi terhadap mereka yang disebut akan menjadi menteri. Berbeda dengan tahun 2014, Jokowi melibatkan KPK dalam menentukan kabinetnya. Itupun beberapa menteri kemudian terjerat dalam kasus korupsi.

Karena itu, bukan tidak mungkin juga pemberantasan korupsi masih menjadi hal yang paling sulit dilakukan meski sudah ada revisi UU KPK. Hanya dua kemungkinan, mereka ditangkap atau dibiarkan. Ditangkap akan berpotensi pada ketidaksempurnaan dalam eksekusi program karena harus dikerjakan oleh orang lain; dibiarkan akan berdampak pada ekonomi yang mandek dan kita hanya bermimpi menjadi negara dengan ekonomi yang cukup besar di tahun 2045.

Benar-benar Kabinet Kerja Jokowi Jilid II sangat rawan.

Apakah akan terjadi demikian? Mari kita menyimak!

Salam!!!

Neno Anderias Salukh

Referensi: Satu; Dua; Tiga; Empat; Lima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun