Ini peristiwa dua tahun berlalu. Beberapa bulan sebelum wabah Covid-19 melanda. Saya naik angkot D05 tujuan Citayam - Bojonggede dari seberang Terminal Depok atau depan Plaza Depok, Kota Depok, Jawa Barat. Hujan baru saja reda. Saya duduk di pojok belakang.
Di sekitar Stasiun Depok Lama, angkot berhenti mencari penumpang. Tidak lama, naiklah seorang perempuan muda bertampang jutek dengan rokok menyala di sela jari-jarinya.Â
Umurnya saya perkirakan sekitar 18 tahun - 20 tahun. Rambutnya diikat ekor kuda. Celana jeansnya model sobek-sobek. Ia pun duduk lalu menghisap rokok, menyisakan asapnya yang memenuhi kabin angkot.
Saya paling tidak kuat asap rokok. Meski saya memakai masker, mencium asap rokok seketika membuat saya batuk.Â
Sebagai penyintas kanker dan pernah juga terkena radang paru-paru, saya wajib melindungi diri saya dari berbagai hal yang kira-kira bisa membuat penyakit saya kambuh. Siapa lagi yang akan melindungi saya selain diri saya sendiri?
Saya lantas menepuk paha penumpang perempuan yang tengah mengisap rokoknya. Menepuknya agak pelan. Saya memintanya untuk mematikan rokok. Supir juga sudah mengingatkannya karena dia tidak mau penumpang lain berkeluh kesah hanya gara-gara satu penumpang.
Dengan terpaksa, ia mematikan bara rokok. Tapi ia lalu menghisap batang rokoknya berkali-kali. Sudah bisa diduga, rokoknya menyala lagi. Rupa-rupanya ia tidak sepenuhnya mematikan bara rokok. Terbukti rokok itu menyala lagi.
"Mbak, rokoknya matiin, udara jadi pengap. Ini di angkot soalnya," kata saya mengingatkannya kembali.Â
Dia tetap dengan cuek menghisap lagi rokoknya. Asap mengepul memenuhi angkot. Penumpang perempuan di sampingnya mengibas-ibaskan tangannya. Ada juga yang menutup hidungnya.
"Mbak, matiin nggak rokoknya!" kata saya mulai emosi. Eh, dia tetap cuek.Â