Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Zahra dan UU yang Dilanggarnya

3 Juni 2021   18:51 Diperbarui: 3 Juni 2021   19:10 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari segi hukum positif menikahkan anak di bawah umur memang tidak dibenarkan. Pada UU Perkawinan No. 16/2019, usia minimal pernikahan (laki-laki dan perempuan) itu 19 tahun. Dan pada UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak, usia minimal pernikahan adalah 18 tahun.

Jadi, tayangan sinetron tersebut bisa diartikan dapat melanggengkan praktik pernikahan di bawah umur sekaligus jadi bagian dari kekerasan berbasis gender di Indonesia.

Dokumentasi Humas Kemen PPPA
Dokumentasi Humas Kemen PPPA
"Setiap tayangan harus ramah anak dan melindungi anak. Jangan hanya dilihat dari sisi hiburan semata, tapi juga harus memberi informasi, mendidik, dan bermanfaat bagi masyarakat, terlebih bagi anak," begitu suara hati Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyoroti sinetron tersebut, Kamis (3/6/2021)

Menteri Bintang menegaskan setiap tayangan sejatinya harus mendukung program pemerintah dan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait pencegahan perkawinan anak, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), pencegahan kekerasan seksual, dan edukasi pola pengasuhan orangtua yang benar.

Tayangan ini secara tidak langsung akan memengaruhi kondisi psikologis masyarakat dan menimbulkan toxic masculinity. Yang berarti akan terbangun konstruksi sosial di masyarakat bahwa pria identik dengan kekerasan, agresif secara seksual, dan merendahkan perempuan.

Selain itu, tayangan tersebut berisiko memengaruhi masyarakat untuk melakukan perkawinan usia anak, kekerasan seksual, dan TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) karena pada tayangan tersebut diceritakan si pemeran utama dinikahkan dengan alasan untuk membayar hutang keluarganya.

Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia, Rommy Fibri Hardiyanto sendiri membantah kecolongan soal polemik sinetron tersebut. Menurutnya, LSF tidak memiliki kewenangan untuk mengecek detail usia para pemain dalam sebuah tayangan.

Dikatakan, ranah LSF dalam melakukan penyensoran film dan tayangan sebelum diedarkan atau dipertunjukkan kepada khalayak umum berfokus pada aspek audio visualnya.

"Bukan soal kecolongan atau tidak, LSF tidak mengecek pemain itu umur berapa, LSF hanya melihat adegan gambarnya visual dialognya, jadi nggak sampai menanyakan umur pemainnya satu-satu ya," ujar Rommy Fibri Hardiyanto kepada CNNIndonesia.com pada Kamis (3/6).

Menurut saya pribadi sebagai orangtua dan isteri, tayangan sinetron itu dihentikan saja, meski akhirnya si pemeran utamanya akan diganti. Tayangan seperti sinetron atau drama meski dianggap sebagai bentuk hiburan, tetap saja akan dijadikan rujukan dalam kehidupan sehari-hari.

Seharusnya tayangan-tayangan yang mempromosikan pernikahan dini dalam setiap programnya, dihentikan saja. Jangan sampai "kekeliruan" tempo lalu terulang kembali dan beranggapan itu hanya tontotan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun