Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Beauty Artikel Utama

Tren Bermasker (Saya) dari "Masa ke Masa"

20 Juli 2020   16:45 Diperbarui: 21 Juli 2020   06:50 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya sebenarnya bukan perempuan tipe "pesolek". Jangankan pakai make up, pakai lipstik saja tidak. Sekedar membuat garis alis saja juga tidak pernah, apalagi pakai bulu mata. Terakhir pakai make up ya sewaktu saya menikah saja.

Saya juga tipe perempuan yang tidak suka pakai perhiasan. Jangankan perhiasan berupa kalung atau gelang, cincin kawin saja tidak pernah saya pakai. Saya simpan saja di lemari. 

Saya juga bukan tipe perempuan yang terlalu memperhatikan penampilan. Ketika perempuan-perempuan lain berburu fesyen (sepatu, tas, baju) terbaru, saya sih ya biasa-biasa saja. Kala yang lain berbelanja karena ada harga diskon, ya saya sih adem ayem saja.

Tidak "perempuan" banget kan?

Tapi...untuk pakai masker, itu harus! (Eh, nyambung tidak obrolan dari perempuan tipe saya ke masker?). Saya sudah lama menggunakan masker setiap saya ke luar rumah. Jauh sebelum pandemi Covid-19 menghantam negeri ini (dan dunia).

Bukan tanpa sebab. Bukan juga karena ingin menciptakan tren (memang siapa saya?). Ada beberapa alasan mengapa saya selalu menutup hidung dan mulut.

Pertama, karena polusi udara di Jakarta yang amat mengkhawatirkan. Saya yang sering berjalan kaki dalam melakoni tugas-tugas lapangan saya, mau tidak mau jadi kerap bersentuhan dengan polusi, terutama dari knalpot kendaraan umum.

Ya tahu sendirilah bagaimana kondisi kendaraan semacam metro mini dan kopaja yang melenggang di jalanan raya. Sudah kerap ugal-ugalan, kendaraannya pun selalu "berasap", menyesakkan dada saya. Menandakan paru-paru protes.

Saya biasanya menjadikan jilbab sebagai penutup hidung dan mulut. Kebetulan saya selalu pakai jilbab panjang, jadi bisa saya belit ke area wajah saya lalu saya jepit di sela dahi. Ya beda tipislah dengan seragam ninja. Jadi, antara warna "masker" dan jilbab senada. Sesuatu yang sesuai dengan gaya saya, yang inginnya harus senada. Biar terlihat matching begitu.

Kedua, lima tahun lalu saya pernah sakit radang paru-paru. Meski saya bukan perokok, paru-paru saya terkena efeknya. Ya banyak faktor sih, bukan karena semata-mata paparan asap rokok atau polusi. Bisa juga karena faktor stres. Sejak itu, saya beralih pakai masker medis yang waktu itu harganya seribuan per lembarnya.

Karena warnanya hanya biru dan hijau, jadi saya mau tidak mau harus memakai baju yang ada warna biru atau hijaunya. Atau jilbab saya warnanya bisa pas dengan biru atau hijau. Kalau warnanya tidak senada, seperti sayur tanpa garam. Saya merasa hambar. Rasanya aneh begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun