Mohon tunggu...
Nenen Ilahi
Nenen Ilahi Mohon Tunggu... -

Sehari-harinya ibu rumah tangga fulltime, dan pengajar part time. Alumni Australia Indonesia Youth Exchange Program dan Chevening Awards. Berminat pada khasanah pendidikan, media, dan budaya. Sekarang bermukim di Canberra, Australia.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Apa Sih Enaknya Luar Negeri? (Kisah Musim Dingin)

29 Juni 2010   05:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:13 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ingat dulu gara-gara kerajingan baca dongeng H.C. Andersen dan novel-novel petualangan Enid Blyton, saya pun ketularan cita-cita kepengen ke luar negeri.

Toh saya ndak sendiri. Paling tidak tokoh-tokoh utama novel Sang Pemimpinya Andrea Hirata dan Negeri Lima Menaranya A. Fuadi, bersama-sama kami sharing mimpi yang sama.

Seperti tokoh-tokoh dalam cerita novel diatas pula, saya bisa melanglang buana sering tanpa biaya pribadi; kalau bukan program pemerintah, ya karena program beasiswa. Alhamdulillah.

Dan saya ingat betapa serunya pengalaman pertama bertemu salju, di Lake Mountain Australia paruh dekade 90an. Apalagi datang bersama teman-teman sehati yang tergabung dalam Program Pertukaran Pemuda Indonesia-Australia. Puas membuat snowman gemuk dengan ranting kering sebagai tangannya, kami main lemparan bola salju, perosotan, dan terguling-guling di atas salju yang lembut seperti es serut. Ke-lebay-an yang penuh kesan!

Jadi, apa sih luar negeri? Luar negeri bagi saya identik dengan bangunan-bangunan unik atau antiknya. Dulu sebelum peraturan penerbangan begitu ketat, kala itu untuk penerbangan ke Sydney, pesawat udara masih bisa terbang di atas Opera House. Bayangkan melayang-layang di atas sebuah landmark dunia. Kali pertama menyaksikan Opera House live dalam lanskap kota nan elok rupawan, rahang seolah terkunci tak bisa mingkem!

Hobi menikmati arsitektur dan pemandangan saya lanjutkan di Eropa. Tinggal dan berkelana menikmati desa atau kota kecil serta kastil. Termasuk doyan ke museum menikmati sejarahnya. Btw, tahukah anda, gerbang istana kerajaan Bali adalah salah satu koleksi ciamik British Museum di London?

Anyway, di Eropa, salju musim dingin boleh jadi sebuah pemandangan biasa. Malah kalau ada kuliah pagi, perjalanan dari flat hingga kampus, dengan salju yang turun seperti kapas bukanlah sebuah perjalanan yang romantis, malah menjengkelkan.

Bayangkan, jam 8 pagi matahari masih lindap, suhu sering jatuh di bawah nol. Berdoalah tidak ada angin, karena angin membuat suhu udara terpelanting lebih rendah. Kalau semalam salju turun, jalanan jadi licin bukan main. Syukur-syukur kalau petugas kampus sempat menaburi jalan dengan garam atau pasir. Kalau tidak, siap-siap terpeleset. Melangkah harus pelan dan hati-hati. Harus dengan sepatu bersol mantap kalau tidak ingin jari dan telapak kaki nyut-nyutan kedinginan. Tentu sebaiknya jangan lupa sarung tangan, syal,dan topi yang menutupi telinga. Badan benar-benar terbungkus seperti perkedel!

Ojek? ‘Kemewahan’ itu tentu saja tidak ada.

Mukim di Canberra, Australia,  awalnya saya kira suhu musim dinginnya agak ramah. Pagi-pagi matahari menyingsing dengan cahaya kuning keemasan. Langit sering tampil rupawan dengan warna biru cerah tak berawan. Tapi begitu keluar rumah, bbbrrrrrr…. Ternyata, penampakan itu hanya sekedar ‘screen saver’ doang. Suhunya tetap saja ngga janji: dingin!

Selama musim dingin jangan harap bisa keluar rumah sebelum membungkus tubuh rapat-rapat bak kue lemper. Ini malah jadi seperti ritual tiap kali meninggalkan rumah. 'Kerepotan' yang tidak akan pernah dialami di Indonesia ini, sering sukses membuat homesick pada bumi Ibu Pertiwi, yang kalau mau keluar rumah tinggal menyambar sendal saja, tidak perlu memasang celana panjang, baju kaus sekian lapis atau jaket wind stopper tebal, dengan underwear bahan thermal.

Oya, dulu saya suka bertanya-tanya sendiri mengapa dari setiap gambar-gambar sungai dan danau di negeri asing empat musim selalu terlihat sepi. Maksud saya, kalau di Indonesia sering danau dan sungai rame oleh anak-anak bermain, mandi, berenang, dsb. Ternyata memang tidak memungkinkan kalau bukan musim panas. Suhu udara terlalu dingin, dan air tentu saja bukan tempat yang menyenangkan untuk berendam. Salah-salah, berenang-renang ke tepian, mati terserang hypothermia kemudian. Ampun dije!

Sebegitu seriuskah musim dingin? Iya. Bandingkan dengan musim hujan di Indonesia (anggaplah ini ekuivalennya musim dingin). Sepanjang tidak menderita oleh musibah banjir, musim dinginnya Indonesia ini akan selalu berlalu dengan sangat menyenangkan dan mengenyangkan.

Masih mau bukti? Setidaknya dalam interval sekian menit, selama hampir 24 jam di depan rumah akan lalu-lalang penjual bubur, gorengan, bakwan, bakso, somai, nasi goreng, mie tek-tek, cah kwe, mie dok-dok, toge goreng, roti panggang, kue putu, martabak, bahkan hotdog. Tinggal panggil, bayar, beres. Dan kembali duduk enak menikmati makanan hangat lezatto sambil menonton serial bajakan Grey Anatomy season terbaru lewat DVD player.

Di luar negeri? Boro-boro! Kemarin saya kepengen banget makan bakso, tapi menahan diri membeli pentol bakso dari toko. Jadi saya putuskan bikin sendiri. Daging sapi giling dicampuri tepung, sedikit garam, merica, bawang putih dan putih telur. Voila! Terima kasih pada mbah Google untuk resepnya.

Hanya saja meski rasanya enak, bentuknya tidak seperti bakso Charles di Rawamangun. Resep dari satu situs itu saya bandingkan dengan situs lain, ternyata kudu pake tepung tapioka, bukan terigu. Akhirnya bakso melempem tembem itu digoreng, dan dinikmati dengan kuah kacang. Lumayan, bisa improvisasi jadi somai walau penuh drama dalam pembuatannya. Singkatnya kalau memang dari sononya tukang jajan, hidup di Indonesia jauuuuuuhhh lebih nyaman.

Inti utama dari kisah musim dingin ini, hidup di luar negeri dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tetap saja membuat penghuninya menyimpan rindu pada negeri asal. Benar kata Panbers, “Indonesia my lovely country, Indonesia is my love….”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun