Perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan di ranah domestik, publik, hingga digital. Meskipun Indonesia telah memiliki berbagai perangkat hukum yang dianggap cukup komprehensif---mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Perlindungan Anak, hingga Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual---kenyataannya, hukum masih belum sepenuhnya efektif menjamin keamanan kelompok rentan ini.Â
Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, satu dari empat perempuan usia 15--64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan terus tinggi selama lima tahun terakhir: 302.300 kasus pada tahun 2020, meningkat menjadi 459.094 kasus di tahun 2021, sedikit menurun pada 2023 dengan 401.975 kasus, namun kembali naik di 2024 dengan 445.502 kasus. Kekerasan tersebut terjadi di ranah personal, publik, bahkan negara.
Kondisi serupa juga terjadi pada anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 2.057 pengaduan kasus sepanjang 2024, dengan mayoritas menyangkut kekerasan di lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif. Dari total tersebut, 265 kasus adalah anak korban kejahatan seksual, 240 anak korban kekerasan fisik dan psikis, serta 40 anak menjadi korban pornografi dan kejahatan siber. Sebagian besar korban adalah anak balita berusia di bawah lima tahun, diikuti anak usia remaja 15--17 tahun. Kasus kekerasan banyak melibatkan orang tua sendiri, sekolah, bahkan aparat penegak hukum. Di ruang digital, laporan SAFEnet Indonesia mencatat lonjakan luar biasa kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), naik empat kali lipat dari 118 kasus pada triwulan pertama 2023 menjadi 480 kasus pada periode yang sama tahun 2024.
Data tersebut memperlihatkan betapa hukum belum sepenuhnya menjadi benteng keamanan bagi perempuan dan anak. Padahal, dari sisi regulasi, negara telah memberikan dasar yang kuat. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, kehormatan, martabat, dan rasa aman, sedangkan Pasal 28B ayat (2) menjamin setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Jaminan ini menjadi dasar bagi lahirnya berbagai undang-undang sektoral, seperti UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, hingga UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sayangnya, pelaksanaan hukum di lapangan sering tersandung oleh lemahnya implementasi dan budaya patriarki yang masih kuat. Banyak aparat penegak hukum yang masih memandang kekerasan domestik sebagai persoalan pribadi, bukan pelanggaran hak asasi manusia. Akibatnya, korban sering disalahkan, tidak mendapatkan perlindungan, bahkan diminta berdamai demi menjaga nama baik keluarga. Dalam konteks ini, hukum yang seharusnya menjadi pelindung justru kehilangan fungsinya sebagai instrumen keadilan sosial.
Kejahatan berbasis teknologi juga memperluas tantangan hukum. Meskipun UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta UU TPKS telah mengatur perlindungan terhadap konten asusila dan eksploitasi seksual anak, praktiknya masih banyak korban yang mengalami reviktimisasi. Korban penyebaran konten pribadi sering kali disalahkan karena dianggap "lalai" menjaga diri, sementara pelaku kerap lolos dari hukuman berat. Padahal, dalam konteks keadilan yang berperspektif gender, hukum seharusnya menempatkan korban sebagai subjek yang dilindungi, bukan objek pembuktian.Â
Selain perangkat nasional, Indonesia juga telah meratifikasi sejumlah instrumen internasional penting seperti Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dan Convention on the Rights of the Child (CRC). Ratifikasi tersebut mempertegas komitmen negara untuk melindungi perempuan dan anak dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan. Namun demikian, kesenjangan antara norma hukum dan implementasinya di lapangan masih besar. Banyak perempuan dan anak, terutama di daerah terpencil, masih sulit mengakses layanan hukum, psikologis, maupun sosial.
Budaya patriarki yang mengakar turut memperparah situasi. Dalam banyak kasus kekerasan, korban kerap diminta untuk tidak memperpanjang masalah dan "menjaga kehormatan keluarga". Paradigma ini membuat hukum kehilangan kekuatannya sebagai pelindung dan pemberdaya. Oleh karena itu, hukum tidak boleh berhenti pada teks undang-undang. Ia harus berfungsi sebagai alat perubahan sosial yang aktif melindungi dan memberdayakan korban, bukan sekadar menghukum pelaku. Prinsip victim-centered approach yang diperkenalkan dalam UU TPKS adalah langkah maju, karena menempatkan kebutuhan dan pemulihan korban sebagai pusat sistem hukum.Â
Negara juga memiliki lembaga-lembaga pendukung seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Kedua lembaga ini memiliki peran penting dalam memberikan perlindungan, bantuan hukum, dan pendampingan bagi korban kekerasan. Namun, efektivitasnya masih bergantung pada sinergi antar-instansi dan dukungan sumber daya manusia yang memahami isu gender secara komprehensif. Hukum di Indonesia telah memiliki kerangka normatif yang kuat dalam menjamin keamanan perempuan dan anak, tetapi kelemahan utamanya terletak pada implementasi yang belum optimal. Diperlukan reformasi hukum yang tidak hanya menambah peraturan baru, tetapi memperkuat kapasitas aparat, memperluas jangkauan lembaga pendamping, serta memastikan bahwa hukum mampu menjawab tantangan modern seperti kekerasan berbasis siber.
Keadilan sejati tidak cukup hanya ditegakkan melalui pasal-pasal undang-undang. Ia harus hadir dalam kehidupan nyata: ketika korban berani melapor tanpa takut disalahkan, ketika aparat hukum memihak pada kebenaran, dan ketika masyarakat berhenti menormalisasi kekerasan. Rasa aman bagi perempuan dan anak tidak boleh menjadi sekadar janji normatif di atas kertas hukum, melainkan realitas yang benar-benar dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Referensi
- Adinda FA, Jovanscha Qisty. "Gagasan Human Security Dalam Kebijakan Personal Security Tinjauan Terhadap Draft Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dan Perbandingannya Dengan Kebijakan Kekerasan Seksual Di Jepang." Responsive 2, no. 1 (2019): 8--13.
- Humas KPAI. Laporan Tahunan KPAI, Jalan Terjal Perlindungan Anak: Ancaman Serius Generasi Emas Indonesia, 2025.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. "Gandeng Sejumlah Pihak, Kemen PPPA Dorong Aksi Bersama Lindungi Perempuan dan Anak Dari Kekerasan Di Ranah Daring," 2024. - Komnas Perempuan. "Kemen PPPA, Komnas Perempuan, Dan FPL Perkuat Sinergi Data Kekerasan Terhadap Perempuan," 2025.
Komnas Perempuan. "Siaran Pers Komnas Perempuan Memperingati Hari Hak Untuk Tahu Sedunia," 2025. - Latiffah Fajar Rahayu, Dilla, dan Hariyanti. "Tindakan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Memberikan Perlindungan Terhadap Perempuan Korban Kekerasan." Constituntum : Jurnal Ilmiah Hukum 1, no. 1 (2022): 58--72.
- Mardiyati, Ani. "Peran Keluarga Dan Masyarakat Dalam Perlindungan Anak Mengurangi Tindak Kekerasan." Jurnal PKS 14, no. 4 (2015): 453--64.
- Shafiyah, Adinda, dan Elisatris Gultom. "Hukum Sebagai Pengatur Dan Pelindung Kehidupan Sosial Individu Dan Masyarakat." Gudang Jurnal Multidisiplin Ilmu 2, no. 10 (2024): 466--71.
- Sosia, Aulia Ilmi. "Analisis Yuridis Terhadap Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia." Jurnal Ilmu Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan, Dan Hukum 2, no. 2 (2025): 25--30.
- Syarifuddin, Farha, dkk. "Ketika Keadilan Menjadi Viral : Memahami Keadilan Di Era Digital." Jurnal Pendidikan Tambusai 9, no. 2 (2025): 22296--304.
- Tirkantara, I Made. "Kesetaraan Gender Dalam Hukum: Menjembatani Kesenjangan Antara Ketentuan Hukum Dan Praktik Sosial." Indonesian Journal of Law and Justice 2, no. 3 (2025): 11.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Catatan :