“There’s always a dark shadow behind a thing; but mostly people don’t care what is behind since the perfect looking one has already appeared.”
Kesempurnaan memang hanya akan selalu menjadi sebuah metafora. Hanya bersifat figurative karena tidak akan pernah ada yang memilikinya selain Tuhan. Nobody’s perfect, kata sebuah ungkapan.
Lead di atas juga berbicara demikian; namun sangat tidak sarkastik untuk berbagai permasalahan yang terjadi di Indonesia saat ini. Maknanya seringkali diartikan: “Wajarlah, toh semua punya kekurangan.” Namun, apa layak jika kita selalu bangga dengan kekurangan sebagai dalih kita? Apakah wajar jika korupsi, akar permasalahan utama di Indonesia, seolah dikembangbiakkan? Apakah wajar jika ketidakadilan selalu menjadi rekan setia kaum yang tertindas? Kelicikan dan keserakahan bukan semata-mata merupakan sebuah kekurangan. Terlebih, kedua hal tersebut merupakan kecacatan tak kasat mata yang memiliki daya destruktif berkali-kali lipat lebih besar daripada bom nuklir sekalipun. Sayangnya, seringkali kecacatan itu tertutupi oleh beberapa hal yang dianggap sudah menjadi prestasi dan tak perlu dibenahi lebih lanjut.
Dari yang saya ketahui berdasarkan pemaparan beberapa teman yang terlibat langsung maupun berdasarkan pengamatan pribadi, kecacatan ini tidak hanya menyerang pemerintah, tetapi juga pihak swasta. Mulai dari kasus penguakan dugaan praktik mafia anggaran oleh seorang anggota Banggar DPR RI, Wa Ode, yang kini malah tertuduh dalam dugaan kasus suap dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah, hingga kasus terkait proyek pembangunan wisma atlet yang melibatkan anggota DPR sekaligus wakil sekjen dan mantan bendahara DPP partai Demokrat sebagai tersangka. Politics never plays fair, ungkap salah seorang dari mereka. Kita tidak tahu siapa yang layak menjadi terdakwa karena fakta pun dapat berbalut topeng. Apalagi jika suap dan ancaman terus merambah, menyuntik mati hati nurani dan akal sehat.
Hal serupa terjadi di Sumatera Utara. Seorang teman yang bekerja di Kementrian Pekerjaan Umum RI sempat memaparkan tentang pencairan dana pembangunan infrastruktur daerah dan dana pelatihan tanpa adanya realisasi sesuai proposal. Dana mengalir, namun tidak ada perbaikan yang terjadi selain penebalan kantung beberapa pihak. Bukan hanya sebersit keinginan dari kawan ini untuk tidak ikut dalam aksi bobrok para pegawai negeri tersebut; namun posisinya yang dalam konotasi masih seperti anak bawang sama sekali tidak dapat membuat bendera intergritas berkibar di sana. He neither can change the system nor the people’s mindset. Alhasil, ia hanya mampu memilih untuk tidak ikut-ikutan sementara pergulatan masih berkecamuk dalam benaknya. Pernah ia mengutarakannya dalam akun jejaring sosialnya yang akhirnya mengundang ancaman dari seorang rekan yang kebetulan membaca keluhannya itu. Apa yang terbayang jika sebuah pisau menempel persis di leher sebagai pelengkap ancaman?
Seorang bapak yang usianya sudah cukup tua juga sempat menghampirinya ketika pencairan dana kembali terulang. “Dulu juga saya seperti kamu, tidak ingin ikut-ikutan dan mencoba jaga sikap. Tapi yah mau bagaimana lagi. Seiring berjalannya waktu juga nanti kamu nggak akan nyangkal kalo kamu butuh uang,” katanya tanpa beban, seolah memaklumi sikap teman saya sebagai fase awal yang lambat laun akan berubah menggenapi hukum metamorfosis dalam kementrian tersebut.
Miris sekali bukan, jika seluruh departemen pemerintahan punya cara pandang seperti itu? Siapa yang tahu, mungkin saja KPK juga hanya berfungsi sebagai sebuah panggung epik: hanya fiktif.
Melihat pemerintahannya seperti itu, dengan“cerdas” masyarakat Indonesia memilih untuk bertindak dengan caranya sendiri. Banyak dari mereka yang memilih untuk tidak membayar pajak; atau bahkan membayar namun berspekulasi untuk tidak membayar penuh kewajiban mereka. Jangan tanya siapa atau perusahaan apa; saya yakin Anda tahu lebih banyak dari yang saya ketahui. “Buat apa bayar pajak kalau uangnya meluap bukan pada tempatnya?” Itu kan, alasan yang sering kita dengar?
Segala macam pertimbangan saat ini nampaknya tidak lagi berbasis mutualisme tetapi lebih menitik beratkan pada prestige dan kekuasaanpribadi. Tidak sedikit perusahaan yang merampas hak pegawainya, namun tetap tampil seolah keadilan ada di tangan mereka. Bahkan beberapa waktu lalu hal ini berujung pada vandalisme besar-besaran di beberapa daerah di Indonesia, yang lagi-lagi menjadikan para pekerja sebagai korbannya.
Sebuah lembaga bidang jasa dan pendidikan di Bandung juga menjadi pelaku kecacatan tersebut. Institusi ini menyediakan jasa bagi siswa, mahasiswa, maupun pencari kerja untuk mengembangkan skill dan membantu klien mereka mendapatkan referensi pekerjaan yang diinginkan. Seharusnya mereka berperan seperti itu, namun kepentingan pribadi Si Pemilik Institusi selalu menjadi nomor satu. “Ada uang, Anda baru berhak mendapatkan konsultasi. Tidak ada uang, Anda sebaiknya pulang; tapi jangan lupa kembali dan bawa uangnya.”
Itulah yang diterapkan di sana. Mencoba bersikap profesional, katanya. Namun, apa artinya jika jasa untuk mendapatkan selembar sertifikat TOEFL saja berujung pada sebuah formalitas? Bukan sertifikat bernilai dan terpercaya namanya kalau institusi-nya saja seperti siluman. Tidak tahu pengesahannya kapan, bahkan visi dan misinya saja tidak jelas. Mungkin institusi itu didirikan hanya untuk menjadi ladang pendapatan tambahan Si Pemilik sehingga untuk gaji pegawainya saja sangat minimalis disertai kontrak dengan penalti yang lagi berupa uang yang nilainya jauh lebih besar dari penalti yang diterapkan di perusahaan besar sekalipun.