Mohon tunggu...
nelfitra putri
nelfitra putri Mohon Tunggu... Mahasiswa

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Stop Normalisasikan Konten Carut Marut

26 September 2025   11:46 Diperbarui: 26 September 2025   11:45 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada 10 September 2025, salah satu konten kreator Minang, @udario.id, menggaungkan ajakan "Stop Normalisasikan Konten Carut-Marut di Medsos." Menurutnya, kebiasaan mengunggah konten berisi kata-kata kasar, makian, atau perilaku yang tak pantas telah menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, terutama generasi muda yang menjadikan media sosial sebagai sumber hiburan dan informasi. Seruan ini disambut baik oleh banyak warganet, namun ada pula yang menilai langkah tersebut sekadar upaya mencari perhatian. Menanggapi tudingan itu, ia menegaskan bahwa gerakan ini murni merupakan gerakan moral, lahir dari kesadaran bersama masyarakat Sumatra Barat, khususnya masyarakat Minangkabau.

Saya pribadi sependapat dengan ajakan tersebut. Konten yang dipenuhi carut-marut jelas bertentangan dengan falsafah hidup Minangkabau, yaitu Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Ungkapan ini bukan sekadar semboyan, melainkan pedoman yang mengikat perilaku masyarakat Minang agar selalu selaras dengan ajaran agama dan adat yang luhur. Dalam tradisi Minangkabau, norma kehidupan telah diatur secara rinci. Bahasa dan tutur kata memiliki kedudukan istimewa karena dianggap cerminan budi pekerti. Ucapan yang kasar bukan hanya menyinggung perasaan orang lain, tetapi juga merusak hubungan sosial dan memberi teladan buruk bagi generasi penerus.

Salah satu aturan adat yang mengatur tata krama berbahasa ialah Sumbang 12, yang menegaskan pentingnya kesantunan dalam segala situasi. Di dalamnya terdapat konsep Sumbang Kato, yang menuntun masyarakat untuk berbicara sesuai dengan tingkatan lawan bicara, sebagaimana dikenal dalam Kato Nan Ampek: kato mandaki (kepada yang lebih tua atau dihormati), kato manurun (kepada yang lebih muda), kato mandata (kepada yang sebaya), dan kato malereang (kepada yang tak dikenal dekat). Prinsip ini menegaskan bahwa setiap kata memiliki tempat dan adabnya sendiri. Melupakan aturan tersebut sama artinya dengan menanggalkan identitas budaya.

Fenomena konten yang menyimpang di media sosial tidak hanya berhenti pada kata-kata kasar. Kini muncul pula kreator yang menampilkan perilaku yang bertentangan dengan norma masyarakat, misalnya meniru pakaian lawan jenis atau memamerkan gaya hidup yang tidak sesuai nilai agama dan adat. Memang, setiap individu memiliki hak berekspresi. Namun, kebebasan berekspresi seharusnya dibarengi tanggung jawab moral, apalagi di ruang publik digital yang jangkauannya begitu luas dan pengaruhnya begitu besar.

Gerakan moral seperti yang digaungkan @udario.id menjadi penting sebagai pengingat bahwa media sosial tidak bisa dibiarkan menjadi "ruang bebas" tanpa batas. Tanpa kendali, arus informasi yang penuh kata-kata kasar, hinaan, dan perilaku menyimpang akan mengikis karakter bangsa, menormalisasi kekerasan verbal, serta menumpulkan rasa empati. Masyarakat Minangkabau, dengan warisan adat dan agama yang kuat, sepatutnya menjadi contoh bagaimana kearifan lokal dapat menjadi tameng dari pengaruh negatif tersebut.

Menghidupkan kembali nilai adat dan agama dalam bermedia sosial dapat dimulai dari langkah-langkah sederhana. Pertama, menjadi teladan pribadi, dengan memilih kata yang sopan dan menolak menyebarkan ujaran kebencian. Kedua, mendorong literasi digital, agar masyarakat khususnya generasi muda mampu memilah konten dan memahami konsekuensi dari setiap unggahan. Ketiga, mengapresiasi dan memperbanyak konten positif, seperti edukasi budaya, cerita inspiratif, atau informasi bermanfaat yang mengangkat potensi daerah.

Pada akhirnya, media sosial hanyalah alat. Baik dan buruknya sangat ditentukan oleh penggunanya. Dengan menanamkan kembali falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, kita bisa menjadikan media sosial sebagai sarana memperkuat jati diri dan menebar kebaikan, bukan sekadar panggung sensasi. Mari bersama-sama menjaga ruang digital agar tetap sehat, santun, dan bermanfaat demi martabat Minangkabau dan kebaikan generasi yang akan datang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun