Tahun ajaran 2020 menjadi awal petualangan saya sebagai siswa SMA. Dengan seragam putih abu-abu yang masih kaku, saya melangkah masuk ke sekolah impian---sekolah favorit di kota saya yang selama ini hanya saya lihat dari luar pagar. Dari seluruh teman SMP, hanya saya yang berhasil diterima di sana. Pagi itu saya merasa bangga sekaligus bersemangat untuk memulai babak baru dan berkenalan dengan teman-teman, walaupun hanya untuk satu hari saja sebagai perkenalan sebelum keadaan berubah drastis.
Hanya sehari setelah perkenalan itu, pandemi COVID-19 tetap memaksa semua kegiatan belajar beralih ke rumah. Semangat yang semula membara perlahan digantikan rasa sepi. Saya mengenal teman-teman hanya lewat layar laptop dan ruang obrolan daring, meski sesekali kami bertemu di tempat les. Pertemuan singkat di luar jam sekolah itu membuat kami sedikit akrab, tetapi tetap terasa ada jarak yang tak bisa dijembatani.
Waktu berlalu hingga memasuki tahun kedua, dan sekolah memutuskan mengacak pembagian kelas. Perubahan ini seolah mengulang proses adaptasi dari awal. Semester pertama berjalan campuran---kadang daring, kadang tatap muka---sampai akhirnya kami kembali belajar penuh di sekolah. Hiruk-pikuk koridor, suara bel, dan tawa teman-teman kembali terasa nyata. Teman-teman baru cukup ramah; mereka mengajak saya ke kantin, masjid, dan perpustakaan. Saya sempat merasa diterima kembali, hingga sebuah kejadian mengusik ketenangan itu.
Jumat siang menjadi awal peristiwa yang tidak pernah saya lupakan. Setelah bel istirahat berbunyi, hampir semua teman perempuan di kelas mengajak saya jajan di kantin. Saya ikut, walau lebih banyak diam mendengarkan percakapan mereka. Seusai makan, saya bertemu teman lama dari kelas 10 dan mengobrol sebentar sebelum kembali ke kelas. Malamnya, sebuah pesan di grup WhatsApp kelas memecah suasana: ketua kelas menulis bahwa uang iuran pentas seni hilang dan CCTV sudah diperiksa.
Keesokan harinya, Sabtu siang, kami semua diminta tetap berada di kelas setelah jam pulang. Ketua kelas menegaskan kembali bahwa ia sudah melihat rekaman CCTV dan memberi tenggat sampai Senin agar pelaku mengaku. Saya hanya bisa diam, bertanya-tanya sambil menatap satu per satu wajah teman sekelas---siapa yang berani mengambil uang itu---sementara waktu terus bergerak menuju hari Senin yang menegangkan.
Senin pagi saya melangkah ke sekolah dengan perasaan berat. Tatapan teman-teman terasa aneh, bisik-bisik terdengar setiap kali saya lewat. Saat istirahat, tak seorang pun mengajak saya ke kantin seperti biasanya. Sore harinya, seorang teman memanggil saya ke belakang gedung sekolah. Di sana sudah menunggu teman yang kehilangan uang itu. Tanpa basa-basi ia menuduh saya mencuri. Saya kaget dan meminta bukti. Ia hanya mengatakan bahwa uang hilang saat jam istirahat---padahal saya tidak ada di kelas saat itu. Saya mengajak mereka melibatkan wali kelas, berharap kejelasan.
Di hadapan wali kelas, tuduhan itu kembali dilontarkan, tetapi rekaman CCTV yang disebut-sebut tak pernah ditunjukkan. Wali kelas hanya menyarankan saya membuktikan ketidakbersalahan, sedangkan saya bersikeras bahwa yang menuduhlah yang harus membuktikan. Perdebatan itu tidak menghasilkan jawaban, hanya meninggalkan perasaan hampa dan marah yang sulit dijelaskan.
Sepanjang jalan pulang saya tidak bisa menahan tangis. Tiga hari saya tidak masuk sekolah karena kecewa dan lelah. Ketika akhirnya kembali, perlakuan teman-teman tidak berubah. Tidak ada yang mau berbicara atau menanyakan pendapat saya. Hari-hari yang seharusnya penuh canda tawa berubah menjadi rutinitas sunyi, sementara pertanyaan di kepala saya terus berputar: apa yang membuat mereka yakin saya pelakunya?
Sekitar sebulan kemudian, saya dipanggil ke ruang wali kelas bersama teman yang kehilangan uang. Di sana barulah dinyatakan bahwa uang itu ternyata hilang bukan di kelas dan saya tidak bersalah. Mereka hanya meminta maaf singkat, tanpa penjelasan lebih lanjut. Permintaan maaf itu terasa terlambat, meninggalkan luka yang sulit terhapus.
Hari-hari berikutnya saya jalani dengan tenang namun menjaga jarak. Hubungan saya dengan teman-teman tidak lagi sama. Tidak ada yang berarti di sisa masa SMA selain belajar dan lulus. Hingga tamat pun, saya tetap membawa luka dan pertanyaan: bagaimana mereka bisa begitu mudah menuduh tanpa bukti?
Namun, seiring waktu saya mulai belajar melihat peristiwa itu dari sisi lain. Saya menyadari bahwa mungkin ini adalah ujian bagi saya untuk menjadi lebih kuat, lebih sabar, dan lebih dewasa dalam menghadapi hidup. Saya mulai berusaha mengikhlaskan apa yang telah terjadi dan memaafkan mereka yang pernah menuduh tanpa bukti. Perasaan marah dan kecewa perlahan saya gantikan dengan niat untuk berdamai dengan masa lalu. Sekarang, setelah melewati semua itu, saya ingin bertemu lagi dengan teman-teman saya. Bukan untuk mengungkit masa lalu, tetapi untuk membuka lembaran baru. Saya percaya setiap orang bisa berubah, begitu juga dengan saya yang kini lebih memahami arti persahabatan, kepercayaan, dan ketulusan. Apa yang pernah menyakitkan, kini menjadi pelajaran berharga yang akan selalu saya bawa sebagai bekal dalam perjalanan hidup saya selanjutnya.