Mohon tunggu...
Nelda Lawolo
Nelda Lawolo Mohon Tunggu... Mahasiswa

Aku menulis bukan karena tahu segalanya, tapi karena aku sedang mencari, bertanya, dan kadang terdiam.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pendeta Itu Manusia : Bukan Malaikat, Bukan dewa

21 Juli 2025   09:02 Diperbarui: 21 Juli 2025   09:01 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendeta yang sedang berkhotbah (Sumber: Pixabay/Waldryano))

Di balik mimbar yang terlihat megah, di balik jubah yang sangat rapi, seringkali kita lupa hal yang sangat penting dimana pendeta itu juga manusia. Banyak orang memandang bahwa pendeta sebagai makhluk yang sangat suci dan tidak berdosa tanpa cela,selalu sabar,selalu ada dalam kondisi jemaat. Namun, di balik semua itu, ada hati yang sangat rapuhnya sama dengan kita semua.

Banyak jemaat yang datang kepadanya membawa banyak masalah, berharap ada jalan keluar, menumpahkan air mata, mencari pelukan rohani yang menguatkan. Padahal sering, saat pendeta pulang sendirian, ia juga membawa lukanya sendiri yang tak pernah di ceritakan sama siapa pun. Ia harus bisa menyembunyikan luka, lelahnya karena bagi banyak orang pendeta terlalu kudus untuk mengeluh.

Pernahkah kita berpikir, siapa yang mendengar doa dan yang selalu ada saat pendeta tak sanggup lagi? Siapa yang memeluknya ketika ia sendiri dan hampa? Siapa yang menenangkan jiwanya ketika imannya goyah? Kita sering menuntut pendeta bahwa mereka sudah sempurna sehingga jika terdapat satu kesalahan pun akan dianggap fatal, seolah-olah ia adalah malaikat tanpa cacat atau dewa yang tak pernah goyah. Padahal, pendeta hanyalah manusia biasa yang dipanggil untuk melayani bukan untuk sempurna.

Ada cerita mengenai seorang pendeta yang setiap minggu berkhotbah tentang pengampunan, kasih tetapi dia tidak bisa mengimplementasikannya di dalam hidupnya. Ada pula pendeta yang ramah terhadap jemaat tetapi di rumahnya dia harus bergumul kepada anak dan istrinya. Semua itu ia telan sendiri, demi menjaga wajah yang kuat di depan jemaat.

Inilah kita sadar saatnya bahwa pendeta juga berhak lelah, berhak salah, berhak  didengarkan bahkan berhak menangis. Kita harus berhenti memandang mereka di atas ekspetasi kita. Pendeta tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi malaikat atau dewa. Mereka hanyalah manusia manusia yang berusaha memberikan yang terbaik sambil bergumul di atas kelemahan mereka sendiri.

Jadi, sebelum kita menuntut lebih, mari kita belajar menjadi jemaat yang saling menguatkan. Kadang, sekadar bertanya dengan tulus : Bapak/Ibu pendeta, apa kabar?" bisa jadi kata-kata demikian menjadi hadiah terbesar bagi hati mereka yang sudah lama memikul beban sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun