Sejarah perkembangan surat kabar atau koran di Indonesia tidak lepas dari perannya dalam menyebarluaskan informasi, memberitakan peristiwa, serta menyampaikan berita dan gagasan yang dapat membangkitkan rasa persatuan. Dari fungsinya inilah koran di Indonesia terus berkembang dan menyesuaikan masa dari era dimulainya penulisan surat kabar menggunakan mesin cetak manual di Hindia Belanda, hingga digitalisasi koran dalam bentuk berita digital seperti saat ini. Sebab surat kabar jugalah kita dapat melihat berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia seperti saat ini. Koran juga berjasa dalam menyebarkan paham-paham nasionalisme rakyat yang pada waktu itu masih didalam kekuasaan Kerajaan Belanda, sehingga membangkitkan semangat nasionalisme untuk terbebas dari kolonialisme yang sudah berlangsung berabad-abad tersebut.
Perjalanan surat kabar Indonesia dimulai dengan terbitnya Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen pada 1744, surat kabar berbahasa Belanda pertama di Hindia Belanda yang diterbitkan oleh pegawai VOC, G.J. Bruyn. Koran ini menjadi corong resmi pemerintah kolonial dengan memuat kebijakan administratif VOC, peraturan perdagangan dan pajak, serta berita dari Eropa. Tahun 1810, di bawah Gubernur Jenderal Daendels, terbit Bataviasche Courant yang menjadi cikal bakal pers kolonial modern. Yang menarik, meski ditujukan untuk kalangan Eropa, keberadaan surat kabar ini justru membuka mata kaum pribumi akan kekuatan media massa.
Awal abad 20 menandai babak baru dengan munculnya surat kabar berbahasa Melayu yang menjadi alat perjuangan, seperti Sinar Hindia (1917) yang dimiliki oleh Sarekat Islam, koran ini berani mengkritik kebijakan kolonial dan kapitalisme, hingga akhirnya dibredel tahun 1920-an. Kemudian, Fadjar Asia (1924-1927), yang diterbitkan di Yogyakarta oleh tokoh-tokoh seperti Haji Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto, fokus pada isu politik dan pendidikan Islam. Pada 1907, Medan Prijaji diterbitkan sebagai koran pertama yang sepenuhnya dikelola oleh pribumi, dipimpin oleh Tirto Adhi Soerjo, yang dikenal sebagai "Bapak Pers Indonesia". Data menunjukkan, pada 1930-an terdapat lebih dari 400 surat kabar berbahasa Melayu yang beredar di Hindia Belanda, yang menandakan semakin kritisnya masyarakat terhadap penjajahan.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), pers Indonesia berada di bawah kontrol ketat Jepang melalui Sendenbu (Dinas Propaganda), yang mengawasi semua media. Beberapa fakta penting adalah penutupan surat kabar berbahasa Belanda seperti Bataviaasch Nieuwsblad dan peran Asia Raya sebagai koran resmi pemerintah pendudukan Jepang. Tokoh pers seperti B.M. Diah dan Rosihan Anwar memanfaatkan posisi mereka untuk menyisipkan pesan-pesan nasionalisme meski berada di bawah tekanan. Periode ini juga mempopulerkan bahasa Indonesia di media massa, menggantikan bahasa Belanda yang sebelumnya dominan.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945, surat kabar menjadi alat vital dalam memperjuangkan kemerdekaan dan membangun identitas nasional. Surat kabar seperti Nasional yang diterbitkan di Yogyakarta dan Indonesia Merdeka yang terbit di Kalimantan menjadi simbol semangat kebebasan. Namun, pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), kebebasan pers dibatasi, dengan 23 surat kabar dibredel karena dianggap anti-Soekarno. Era Orde Baru (1966-1998) juga ditandai dengan pembredelan terhadap media seperti Indonesia Raya pada 1974 dan Prioritas pada 1987, yang menunjukkan kontrol ketat terhadap media. Data menunjukkan, pada 1975 hanya tersisa 66 surat kabar di Indonesia dari sebelumnya ratusan, sebagai dampak dari kebijakan penyederhanaan pers Soeharto.
Reformasi 1998 menjadi titik balik bagi kebebasan pers di Indonesia. Jumlah surat kabar melonjak dari 289 pada 1998 menjadi lebih dari 1.200 pada tahun 2000. Munculnya media online seperti Detik.com (1998) dan Kompas.com (2008) membawa perubahan besar dalam cara informasi disebarluaskan. Namun, tantangan baru muncul dengan maraknya penyebaran hoaks, clickbait, dan kesulitan dalam monetisasi. Data menunjukkan bahwa 78% masyarakat Indonesia kini mengakses berita melalui smartphone, sementara hanya 12% yang masih berlangganan koran cetak. Media seperti Kompas dan Tempo berhasil beradaptasi dengan model digital subscription yang sukses.
Di tengah gempuran media sosial, surat kabar Indonesia harus terus memperkuat jurnalisme investigatif, mengembangkan model bisnis yang berkelanjutan, serta meningkatkan literasi digital masyarakat. Selain itu, penting untuk melestarikan arsip surat kabar sejarah sebagai warisan budaya bangsa. Dari Bataviasche Nouvelles hingga Kompasiana Digital, surat kabar Indonesia telah menjadi cermin dinamika bangsa. Perjalanan panjang ini membuktikan bahwa meskipun bentuknya berubah, fungsi pers sebagai pilar demokrasi tetap relevan di segala zaman.
Sumber Referensi
Burgoon, Judee K., dan Michael Burgoon. "The Functions of the Daily Newspaper." Newspaper Research Journal 2, no. 4 (1 Juli 1981): 29--39. https://doi.org/10.1177/073953298100200405.
Efendi, Akhmad. Perkembangan Pers di Indonesia. Disunting oleh Usman Munaji. Digital 2019. Semarang: Alprin, 2020.