"Jadi politik itu dinamis sekali. Karena itulah dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi. Hari ini berlawanan, tapi ujungnya juga bersamaan. Itu biasa aja dalam politik." -- Jusuf Kalla
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sengketa Pilpres 2019 akan diumumkan pada 27 Juni 2019. Keputusan inilah yang nantinya menjadi penentu pucuk pimpinan bangsa Indonesia. Apabila kita melihat jalannya persidangan, maka kemungkinan besar yang akan muncul menjadi pemenang adalah pihak Capres 01 Jokowi.
Di situlah muncul pertanyaan, apa yang akan terjadi dengan Capres 02 Prabowo Subianto?
Berdasarkan laporan utama Majalah Tempo edisi 24-30 Juni 2019, ternyata sudah ada deal-deal politik antara kubu Jokowi-Prabowo ke depannya pasca pengumuman hasil MK. Deal-dealan politik tersebut berupa beberapa jabatan di pemerintahan. Di dalam kalangan internal Partai Gerindra, muncul istilah "212" yang merupakan tawaran jabatan Paslon 01 terhadap Paslon 02. Di antaranya 2 kursi menteri, 1 kursi wakil ketua MPR, dan 2 jabatan di Dewan Pertimbangan Presiden.
Wasekjen PAN Faldo Maldini mengatakan Prabowo kemungkinan akan mendapat jabatan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di pemerintahan Joko Widodo 2019-2022. Terkait pernyataan Faldo tersebut, Jubir TKN Jokowi-Ma'ruf Arya Sinulingga tak menyanggah bahwa ada obrolan-obrolan informal yang dilakukan antar pihak Jokowi-Prabowo. Arya menambahkan bahwa pihaknya akan dengan senang hati menerima Prabowo.
Kemungkinan bergabungnya Prabowo ke pemerintahan tidak pula ditampik oleh Wapres Jusuf Kalla. Ia kembali mengingatkan bahwa dunia politik itu sangat dinamis. Tidak ada kawan maupun lawan yang abadi.
Tapi, yang justru menjadi pertanyaan utama adalah, apabila benar Prabowo nantinya merapat ke Jokowi, apa yang akan terjadi dengan kelompok pendukung Prabowo yang hingga kini masih saja ngoyo agar Prabowo memenangkan hasil persidangan MK? Saya bilang ngoyo karena imbauan Prabowo yang memohon agar massa pendukungnya tidak turun ke jalan pun tak dihiraukan kelompok ini.
Kelompok-kelompok itu di antaranya Persaudaraan Alumni (PA) 212, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI, serta sejumlah organisasi lainnya. Mereka beralasan, unjuk rasa yang dilakukan sebagai bagian dari perjuangan untuk menegakkan keadilan sesuai dengan ajaran agama.
Lantas ketika nanti Prabowo kalah di persidangan, dan Prabowo justru ikut bergabung dengan pemerintahan. Apakah mereka akan tetap menuntut tegaknya "keadilan"? Apabila mereka tidak terima dan mungkin akan berbuat kerusuhan, maka akan jelas terlihat kepentingan utama dari kelompok itu bukan untuk kepentingan NKRI, tapi ideologi lain.
Kelompok seperti PA 212 mengingatkan kita semua akan keikutsertaan mereka dalam reuni 212 tahun lalu. Peserta reuni tersebut mayoritas berasal dari kader PKS dan eks HTI, yang menginginkan tegaknya khilafah di Indonesia. Artinya, apabila mereka tetap melakukan kerusuhan walaupun Prabowo masuk ke pemerintahan Jokowi, maka sudah dapat dipastikan bahwa tujuan mereka berdemo bukanlah demi agama dan bangsa Indonesia, melainkan demi khilafah.
Sumber: