Mohon tunggu...
Nefya Oksarifa
Nefya Oksarifa Mohon Tunggu... jadi lebih baik

suka mendengarkan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Saat Hukum Tak Berdaya di Hadapan Penguasa Uang

19 Juni 2025   14:34 Diperbarui: 24 Juni 2025   19:30 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belum tuntas publik menghela napas dari berbagai skandal korupsi, kini muncul kasus yang menyeret  nama Wilmar Group, yang mana merupakan salah satu nama perusahaan agribisnis terbesar di Indonesia dan sangat di kenal di dunia industri sawit. Nama perusahaan tersebut di sebut dalam kasus dugaan korupsi ekspor minyak goreng. Saat perusahaan sebesar ini terseret kasus korupsi, banyak orang bertanya-tanya "Benarkah hukum bisa adil dan tegas terhadap semua pihak, termasuk yang punya kekuasaan dan uang?

Dugaan korupsi ini terjadi saat Penyelidikan KPK dilakukan terhadap pejabat di Kementerian Perdagangan yang diduga menerima suap untuk meloloskan izin ekspor crude palm oil (CPO), bahan utama minyak goreng. Wilmar disebut sebagai salah satu perusahaan yang diduga terlibat. Meski pihak Wilmar mengaku bahwa itu hanya ulah individu, publik tetap merasa janggal. Bagaimana mungkin praktik seperti ini terjadi tanpa campur tangan sistem perusahaan?

Kejaksaan Agung menyita uang sebesar Rp 11 triliun dari terdakwa korporasi PT Wilmar Group terkait perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya yang terjadi periode Juli 2021 hingga Desember 2021. Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Sutikno dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa, 17 Juni 2025, mengatakan bahwa uang triliunan tersebut disita dari lima terdakwa korporasi yang tergabung dalam PT Wilmar Group. Kelima perusahaan itu adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia. Dan akibat dari  perbuatan para terdakwa korporasi, negara mengalami kerugian dalam tiga bentuk, yaitu kerugian keuangan negara, illegal gain, dan kerugian perekonomian negara yang seluruhnya sebesar Rp 11.880.351.802.619 atau Rp 11,88 triliun.

Wilmar International Limited menanggapi soal tumpukan uang yang ditunjukkan Kejaksaan Agung dalam konferensi pers, Selasa, 17 Juni 2025. Uang itu merupakan uang jaminan pengembalian kerugian negara yang dilakukan oleh anak perusahaan Wilmar dalam kasus korupsi crude palm oil (CPO) dan produk turunannya yang terjadi periode Juli 2021 hingga Desember 2021.

Dalam laman Direktori Putusan Mahkamah Agung (MA), Majelis Hakim menyatakan perusahaan PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group terbukti melakukan perbuatan sesuai dakwaan primer maupun subsider JPU. Adapun para tersangka korporasi didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Meskipun demikian, Majelis Hakim menyatakan perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (ontslag van alle recht vervolging) sehingga para terdakwa dilepaskan dari tuntutan JPU. Majelis Hakim juga memerintahkan pemulihan hak, kedudukan, kemampuan, harkat, serta martabat para terdakwa seperti semula. Atas putusan tersebut, Kejagung pun mengajukan kasasi. Belakangan diketahui majelis hakim yang menangani perkara ini juga menerima suap dari Wilmar, suap ini di duga berkaitan dengan putusan vonis lepas kepada ketiga korporasi besar.

Kalau kita bicara soal hukum di Indonesia, banyak orang merasa bahwa hukum seringkali tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Artinya, orang kecil mudah sekali dihukum, sementara orang besar apalagi yang punya uang dan kekuasaan bisa lolos atau mendapat perlakuan istimewa. Inilah yang menjadi kekhawatiran banyak pihak dalam kasus Wilmar.

Kalangan akademisi sudah lama mengkritik hal ini. Karl Marx, seorang filsuf dan pemikir terkenal, pernah mengatakan bahwa hukum di negara kapitalis sering jadi alat orang kaya untuk melindungi kepentingannya. Sementara itu, pemikir asal Prancis, Michel Foucault, mengingatkan bahwa kekuasaan bisa menyusup ke dalam aturan dan sistem, bukan hanya lewat ancaman atau kekerasan. Dalam konteks Indonesia, mungkin ini yang sedang terjadi: perusahaan besar bisa mempengaruhi aturan dan keputusan lewat cara-cara yang tak kasatmata.

Tokoh hukum Indonesia, Prof. Satjipto Rahardjo, juga pernah mengingatkan bahwa hukum seharusnya hadir untuk membela manusia, bukan hanya menjalankan aturan kaku. Artinya, hukum harus berpihak pada keadilan, bukan hanya pada prosedur atau kekuasaan. Kalau hukum tak bisa membela rakyat yang dirugikan oleh permainan bisnis dan korupsi, lalu untuk siapa hukum itu ada?

Sayangnya, di banyak kasus, penegak hukum di Indonesia hanya berani menangkap "oknum". Jarang sekali perusahaan sebagai institusi besar benar-benar diseret ke pengadilan. Padahal, kejahatan seperti ini biasanya dilakukan secara sistematis dan terorganisir di dalam perusahaan, bukan hanya ulah satu-dua orang. Rakyat biasa sering kali menghadapi hukum dengan keras. Bahkan untuk pelanggaran ringan, proses hukumnya bisa cepat dan tegas, sedangkan sebaliknya pelaku kejahatan besar justru bisa lolos dari jeratan hukum. Entah dengan vonis ringan, proses yang berlarut-larut, atau bahkan kasusnya yang hilang begitu saja, dengan demikian hal ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap hukum terus menurun.

Apa yang bisa kita pelajari dari kasus Wilmar? Pertama, kita harus sadar bahwa hukum kita masih punya banyak kelemahan, terutama ketika berhadapan dengan kekuatan ekonomi besar. Kedua, kita butuh reformasi hukum yang serius, terutama dalam penanganan kejahatan korporasi. Hukum harus benar-benar berlaku untuk semua, tidak peduli seberapa besar pengaruh atau kekayaan seseorang atau perusahaan.

Masalah hukum di Indonesia juga tidak lepas dari para penegaknya, karena masih banyak yang terlibat dalam praktik tidak jujur sehingga mengakibatkan hukum yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi momok bagi masyarakat kecil. Belum lagi budaya hukum masyarakat kita yang masih lemah, membuat orang cenderung pasrah dan tidak percaya bahwa keadilan bisa mereka dapatkan lewat jalur hukum. Memang tidak mudah untuk memperbaikinya tapi bukan berarti kita tidak bisa, karena pada dasarnya kita butuh perubahan dari segala arah. Seperti kata Mahfud MD, “Hukum yang baik tidak akan berarti apa-apa jika ditegakkan oleh orang yang tidak baik.” Maka, kita tidak hanya butuh Undang-Undang yang adil, tapi juga orang-orang jujur dan berani yang menegakkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun