Bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, ia adalah cermin identitas bangsa dan sarana berpikir kritis dalam ranah akademik. Di tengah derasnya arus globalisasi dan dominasi bahasa asing dalam dunia pendidikan tinggi, eksistensi bahasa Indonesia dalam lingkungan perguruan tinggi justru mengalami tantangan serius. Padahal, bahasa Indonesia memegang peran strategis dalam membentuk nalar ilmiah yang kontekstual dan membumi, khususnya dalam penulisan karya ilmiah.
Di banyaknya perguruan tinggi, trend penggunaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris kerap dianggap lebih prestisius. Tidak jarang dosen maupun mahasiswa merasa karya ilmiah baru "berkualitas" jika ditulis dalam bahasa Inggris. Pandangan ini tentu tidak salah dalam konteks publikasi internasional. Namun, ketika bahasa Indonesia mulai tersisih dari ruang akademik sendiri ini menjadi ironi.
Lebih dari itu, minimnya penggunaan bahasa Indonesia dalam karya ilmiah juga menghambat diseminasi pengetahuan kepada khalayak luas. Jika seluruh hasil penelitian mahasiswa atau dosen hanya tersedia dalam bahasa asing, maka akses masyarakat terhadap pengetahuan akan semakin terbatas. Bahasa Indonesia seharusnya menjadi jembatan antara dunia ilmiah dan masyarakat.
Berdasarkan data Badan Bahasa Kemendikbudristek (2022), dari total lebih dari 8.000 jurnal ilmiah terakreditasi di Indonesia, hanya sekitar 32% yang aktif menerbitkan artikel dalam bahasa Indonesia. Sebagian besar jurnal mengutamakan atau bahkan mewajibkan bahasa Inggris demi mengejar indeksasi internasional seperti Scopus atau DOAJ. Ini tentu sah secara akademik, tetapi memiliki dampak jangka panjang terhadap marjinalisasi bahasa Indonesia dalam dunia ilmiah nasional.
Hasil survei Pusat Bahasa dan Budaya Universitas Indonesia (2021) juga mencatat bahwa 74% mahasiswa strata satu (S1) merasa lebih percaya diri menulis karya ilmiah dalam bahasa Inggris, meskipun penguasaan tata bahasa dan kosakatanya belum memadai. Sebaliknya, hanya 26% yang menyatakan mampu menyusun karya ilmiah dalam bahasa Indonesia secara sistematis dan argumentatif.
Ini menunjukkan bahwa masih banyak perguruan tinggi yang belum maksimal dalam membina kemampuan menulis ilmiah dalam bahasa Indonesia. Padahal, kemampuan ini sangat penting, terutama untuk diseminasi pengetahuan kepada masyarakat luas. Ilmu pengetahuan tidak seharusnya menjadi eksklusif hanya karena hambatan bahasa.
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki kekuatan ekspresi ilmiah yang tak kalah dari bahasa asing. Terbukti, berbagai disiplin ilmu telah mampu berkembang dengan dukungan terminologi dan struktur kebahasaan yang memadai dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, keterampilan menulis ilmiah dalam bahasa Indonesia masih dianggap remeh. Banyak mahasiswa belum mampu menyusun argumen ilmiah dengan struktur logika yang baik dalam bahasa sendiri, apalagi menghindari plagiarisme atau kesalahan berbahasa.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, setiap karya ilmiah di Indonesia wajib menggunakan bahasa Indonesia, kecuali untuk kebutuhan internasional. Sayangnya, implementasi aturan ini masih lemah di banyak institusi pendidikan tinggi.
Penguatan bahasa Indonesia dalam penulisan karya ilmiah bukan berarti anti terhadap internasionalisasi. Sebaliknya, ini adalah upaya untuk menyeimbangkan antara kebutuhan akademik global dan tanggung jawab budaya dan nasional. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam karya ilmiah dapat memperkuat daya pikir kritis mahasiswa, sekaligus menjaga keberlanjutan ilmu pengetahuan dalam konteks lokal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI