Mohon tunggu...
Ahmad Sastra
Ahmad Sastra Mohon Tunggu... Dosen - penulis

Ahmad Sastra adalah seorang penulis buku, baik fiksi maupun non fiksi sekaligus berprofesi sebagai dosen filsafat

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menyoal Relasi Penguasa dan Rakyat di KUHP

10 Desember 2022   22:14 Diperbarui: 10 Desember 2022   22:22 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Ahmad Sastra

Setelah banyak protes dari masyarakat terkait kontroversi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (RKUHP) karena menyelisihi demokrasi, namun pada akhirnya disahkan juga oleh DPR RI dan pemerintah pada Selasa, 06/12/22 dalam rapat paripurna yang digelar di kompleks parlemen.  Pengesahan RKUHP ini terkesan dikebut, sebab sebelumnya banyak gelombang aksi protes karena terdapat banyak substansi yang kontroversial, khususnya dilema relasi antara penguasa dan rakyatnya yang diurus.

Pengesahan RKUHP itu terkesan dikebut karena minimnya partisipasi publik, bahkan seolrah pemerintah dan DPR tidak mengindahkan kritik dan masukan publik. Padahal sejumlah kalangan publik dari mulai jurnalis, praktisi hukum, hingga aktivis HAM dan mahasiswa masih melihat materi dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih kacau dan memuat pasal-pasal bermasalah.

Relasi antara penguasa dan rakyat adalah relasi positif yakni penguasa mencintai rakyat dan rakyat mencintai pemimpinnya. Muhasabah dan nasehat rakyat kepada penguasanya adalah tanda kecintaan itu agar pemimpin tetap berjalan di jalan Allah. Demikian pula seorang pemimpin mesti menjadikan dirinya teladan bagi rakyatnya. Relasi penguasa dan rakyat bukan relasi permusuhan. Kepemimpinan adalah amanah Allah dan rakyat.

Pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan boss dan rakyat pembantunya. Melalui KUHP ini seolah relasi penguasa dan rakyat bersifat tidak (mampu) menghasilkan hal baik atau  tidak saling menguntungkan. Dalam filsafat relasi ini bernama kontraproduktif.

Saat Soekarno menyatakan bahwa jika negara berdasarkan Islam maka akan banyak daerah yang penduduknya bukan Islam akan memisahkan diri, semangat keislaman rakyat membuat mereka memprotesnya. KH Isa Anshari dari Masyumi melayangkan nota protesnya. Protes resmi juga dilayangkan oleh PBNU, Partai Islam Perti, Gerakan Pemuda Islam dan PB Persis. Rakyat juga memprotes lewat poster-poster berbunyi: "Kami cinta kepada presiden, tetapi lebih cinta kepada negara. Kami cinta kepada negara, tetapi lebih cinta kepada agama."

 Protes seperti ini dan semisalnya, asalkan sesuai dengan hukum syariah, hendaknya dilihat sebagai bentuk pertolongan sekaligus penunaian kewajiban rakyat. Bukan dianggap penentangan apalagi makar. Bahkan andaikan rakyat diam, penguasalah yang seharusnya turun lapangan untuk meminta kritik dari rakyat, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ra.

Suatu hari, Khalifah Umar naik ke atas mimbar. Dia lalu berpidato di hadapan khalayak ramai. " Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah Shallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham."

Rupanya kebijakan  ini tidak disetujui oleh sebagian kaum perempuan. Maka, usai menyampaikan keterangan, datanglah seorang perempuan menyampaikan protes. " Hai, Amirul Mukminin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?" protes wanita itu. " Ya," jawab Khalifah Umar. " Apakah kau tidak pernah dengar Allah menurunkan ayat (melafalkan penggalan ayat 20 Surat An Nisa)," kata wanita itu.

Umar tersentak sambil berkata, " Tiap orang lebih paham ketimbang Umar." Menyadari kekeliruannya, Umar kembali naik mimbar dan menyampaikan pernyataan yang telah direvisi sesuai kritik yang disampaikan rakyatnya. (dikutip dari Jakarta, Masjiduna)

Perhatikanlah ucapan pidato Abu Bakar As Shiddiq saat dilantik menjadi seorang khalifah pertama dalam peradaban Islam : (1) Wahai manusia Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu (ri'ayatu suunul ummah). (2) Padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu (berakhlak : rendah hati dan tahu diri). (3) Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku (merangkul rakyat, bukan memusuhi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun