Mohon tunggu...
naysilla zelliyana
naysilla zelliyana Mohon Tunggu... Pelajar/Mahasiswa/Mahasiswa

Pemerhati dunia digital dengan ketertarikan khusus pada isu-isu seputar kecerdasan buatan (AI) dan dampaknya bagi kehidupan manusia. Menyukai diskusi yang ringan tapi bermakna. Menulis sebagai cara untuk berbagi sudut pandang, dengan gaya yang santai, menyenangkan, tapi tetap reflektif.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Otak Kita Dijajah Algoritma: Personalisasi AI yang Menggerus Hak Asasi Manusia

26 Juni 2025   17:12 Diperbarui: 26 Juni 2025   18:53 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh: Naysilla Zelliyana

"Kalau semua terasa cocok dan nyaman di beranda media sosialmu, bisa jadi kamu sedang tidak benar-benar memilih tapi dipilihkan."

Setiap hari kita mengakses media sosial tanpa rasa curiga. Konten yang muncul terlihat seolah "cocok" dengan selera, baik itu video lucu, isu politik yang sejalan dengan pendapat pribadi, atau barang yang tiba-tiba muncul setelah kita mendiskusikannya. Kita menyebutnya "relevan", walaupun sebenarnya ini merupakan bentuk personalisasi algoritma yang didasarkan pada AI. Tetapi apakah kita pernah mempertanyakan: apakah ini sesungguhnya kebebasan, atau malah suatu bentuk baru penjajahan digital yang membahayakan hak asasi manusia?

Dari Nyaman Menjadi Manipulatif

Teknologi kecerdasan buatan dibuat untuk "mengerti" kita. Algoritma menganalisis jejak digital: apa yang kita klik, tonton, suka, dan bahkan lama kita berhenti menggulir. Segala sesuatunya diproses agar media sosial dapat menyajikan konten yang "kita harapkan". Namun di sinilah letak risikonya karena ternyata, apa yang kita lihat tidak sepenuhnya merupakan pilihan kita.

Laporan Amnesty International 2023 menyebutkan bahwa algoritma pada platform digital secara aktif mendistribusikan konten yang meningkatkan keterlibatan, sering kali berbentuk disinformasi, polarisasi politik, atau ujaran kebencian karena jenis konten tersebut membuat pengguna tetap berlama-lama di platform. Dalam pelaksanaannya, ini melanggar hak untuk menerima informasi yang adil, seimbang, dan netral.

Buih Filter dan Demokrasi yang Tertekan 

Saat kita hanya diberikan informasi yang sejalan dengan pemikiran kita, kita kehilangan sudut pandang yang berbeda. Ini menghasilkan "gelembung filter" gelembung informasi yang menjadikan dunia terlihat homogen dan sependapat dengan pandangan kita. Apa yang didapat? Diskusi umum semakin superficialis, kebencian antar komunitas meroket, dan masyarakat terfragmentasi.

Sebagai individu digital, kita secara bertahap mengalami kehilangan kebebasan berpikir kritis akibat algoritma menyajikan informasi yang memuaskan ego. Kita tidak lagi diuji untuk mempertanyakan, hanya dirangsang untuk menyetujui. 

Diskriminasi Digital Itu Nyata

Algoritma bukan makhluk netral. Mereka dirancang oleh manusia dan membawa bias manusia itu ke dalam sistem. Lebih dari itu, pengguna dari komunitas rentan seperti LGBTQ+, kelompok etnis minoritas, atau masyarakat adat sering kali mengalami invisibilisasi dalam sistem algoritmik. Konten mereka tidak ditampilkan, dibatasi, atau bahkan diblokir secara sistematis. Ini adalah bentuk baru dari diskriminasi digital canggih, sunyi, namun sangat nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun