ABSTRAK
Artikel ini membahas kritik terhadap klaim objektivitas ilmiah dalam studi Islam Barat kontemporer. Studi Islam di Barat berangkat dari paradigma sekuler yang mengedepankan rasionalitas dan empirisisme, sehingga Islam sering diperlakukan sebagai objek kajian sosial-budaya yang terpisah dari nilai-nilai keagamaannya. Pendekatan ini dianggap netral dan bebas nilai, namun sejumlah pemikir Muslim seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas, Seyyed Hossein Nasr, dan Muhammad Abed al-Jabiri menunjukkan bahwa objektivitas ilmiah dalam tradisi Barat tidak benar-benar netral, melainkan berakar pada pandangan dunia sekular-humanistik. Melalui pendekatan kualitatif-deskriptif berbasis kajian literatur, artikel ini menyoroti bias epistemologis dalam studi Islam Barat serta menawarkan alternatif epistemologi Islam yang integratif antara wahyu, akal, dan nilai moral. Kajian ini diharapkan dapat membuka ruang bagi pengembangan studi Islam yang lebih otentik dan berkeadilan epistemologis.
Kata Kunci: Objektivitas Ilmiah, Studi Islam Barat, Epistemologi Islam, Sekularisme, Kritik Ilmu.
PENDAHHULUAN
Sejak masa orientalisme, studi Islam di dunia Barat telah berkembang menjadi bidang akademik yang luas dan beragam. Para sarjana Barat berusaha memahami Islam melalui pendekatan ilmiah yang menekankan rasionalitas, empirisisme, dan metode historis-kritis. Dalam kerangka ini, objektivitas ilmiah dianggap sebagai prinsip utama yang menjamin netralitas dan validitas pengetahuan. Ilmu pengetahuan dianggap dapat berdiri di atas nilai-nilai agama dan ideologi, sehingga penelitian terhadap Islam dilakukan tanpa melibatkan unsur keimanan.
Namun, klaim tersebut menuai banyak kritik dari para pemikir Muslim kontemporer. Mereka menilai bahwa objektivitas ilmiah yang diusung dalam studi Islam Barat tidak benar-benar bebas nilai, melainkan mencerminkan pandangan dunia sekuler yang menyingkirkan aspek spiritual dan wahyu. Islam, yang sejatinya bersifat transendental dan menyeluruh, diperlakukan sekadar sebagai fenomena sosial, politik, atau budaya yang dapat dijelaskan secara rasional-empiris. Hal ini menimbulkan kesenjangan epistemologis antara cara pandang Barat dan epistemologi Islam.
Konsep Objektivitas dalam Ilmu Barat
Objektivitas ilmiah dalam tradisi Barat lahir dari semangat modernisme dan pencerahan (Enlightenment) pada abad ke-17 dan 18. Tokoh-tokoh seperti Ren Descartes, Auguste Comte, dan Immanuel Kant mengembangkan pandangan bahwa kebenaran hanya dapat diperoleh melalui akal dan pengalaman empiris. Ilmu pengetahuan harus bebas dari nilai dan keyakinan pribadi agar dapat dianggap sahih dan universal. Prinsip ini kemudian membentuk dasar dari pendekatan positivistik dalam ilmu pengetahuan modern.
Dalam konteks studi Islam, paradigma ini diterapkan untuk memahami teks-teks keagamaan, sejarah Nabi, hukum Islam, maupun praktik sosial umat Islam. Pendekatan ini menekankan analisis rasional, kritik teks, dan penelitian historis tanpa mempertimbangkan unsur keimanan dan wahyu. Islam tidak lagi dilihat sebagai sumber kebenaran ilahiah, melainkan sebagai sistem sosial yang tunduk pada hukum sebab-akibat duniawi. Meskipun metode ini dianggap ilmiah dan netral, sebenarnya ia membawa serta asumsi-asumsi ideologis yang tidak sejalan dengan pandangan dunia Islam.Kritik terhadap Objektivitas Ilmiah dalam Studi Islam
Para pemikir Muslim seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Seyyed Hossein Nasr menilai bahwa objektivitas ilmiah Barat tidak sepenuhnya bebas dari nilai, melainkan justru sarat dengan bias epistemologis. Menurut al-Attas (1995), ilmu pengetahuan modern berakar pada pandangan hidup sekuler yang memisahkan antara Tuhan, alam, dan manusia. Dalam pandangan ini, pengetahuan dianggap netral dan otonom dari wahyu, padahal dalam Islam, pengetahuan adalah bagian dari ibadah dan jalan menuju kebenaran Ilahi.
Seyyed Hossein Nasr (1993) juga mengkritik sains modern karena kehilangan "sacredness" atau kesakralan. Bagi Nasr, ilmu yang benar adalah ilmu yang mengantarkan manusia kepada kesadaran akan Tuhan, bukan sekadar menguasai realitas material. Ketika studi Islam dilakukan dengan pendekatan sekuler yang menolak dimensi transendental, maka hasilnya akan kehilangan makna spiritual dan moral.