Dakwah merupakan kegiatan yang sangat mulia dalam Islam. Dalam pengertian asalnya, dakwah berarti mengajak, menyeru, dan memanggil manusia kepada kebaikan dan jalan Allah. Kegiatan ini melibatkan dua pihak: subjek yang berdakwah (da'i) dan objek dakwah (mad'u). Dalam praktiknya, dakwah tidak hanya menyangkut isi pesan, tetapi juga metode penyampaian dan media yang digunakan---baik secara langsung, melalui tulisan, maupun lewat platform digital seperti media sosial.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul istilah yang cukup problematik: "dakwah radikal". Istilah ini berkembang sebagai antitesis dari "dakwah damai". Jika dilihat dari segi etimologi, kata "radikal" merujuk pada sikap ekstrem yang menolak jalan tengah. Dalam terminologi sosial keagamaan, radikalisme seringkali merujuk pada fanatisme terhadap satu pendapat, penolakan terhadap keragaman pandangan, serta kecenderungan memahami teks agama secara literal tanpa mempertimbangkan maqashid al-syari'ah (tujuan utama syariat).
Dengan demikian, jika dakwah berarti mengajak kepada kebaikan, maka dakwah dengan pesan radikal yang cenderung provokatif, penuh kemarahan, dan mengkafirkan pihak lain tidak lagi sesuai dengan semangat dakwah itu sendiri. Sayangnya, media sosial kini menjadi ruang ekspresi baru bagi sebagian kelompok radikal yang menyebarkan narasi seperti itu.
Fenomena dakwah radikal di media sosial ini bahkan telah menjadi gejala yang diakui secara praktis. Meski bertentangan secara filosofis dengan ajaran Islam, keberadaannya tidak bisa diabaikan. Sebagian besar kontennya berisi kemarahan terhadap masalah sosial, politik, atau ekonomi, yang disampaikan dengan mengutip ayat-ayat al-Qur'an dan hadis secara parsial dan di luar konteks. Dalam pandangan John L. Esposito, mereka ini sebenarnya sedang membajak Islam demi tujuan yang tidak suci.
Lebih dari itu, mereka bahkan menjadikan sejarah dan figur Nabi Muhammad SAW sebagai landasan pembenaran tindakan ekstrem. Bernard Lewis dalam penelitiannya pernah mencatat bahwa kelompok-kelompok radikal kerap meyakini diri sebagai representasi Islam yang paling murni dan otentik, bahkan lebih benar dari kelompok arus utama seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Melalui perspektif teori komunikasi seperti hierarki pengaruh (Shoemaker & Reese) dan jarum hipodermik (David K. Berlo), pesan dakwah radikal di media sosial dapat dilihat sebagai hasil dari tekanan ideologis, baik dari dalam maupun luar organisasi yang bersangkutan. Namun, teori uses and gratifications menunjukkan bahwa audiens media sosial memiliki peran aktif dalam menentukan konten apa yang akan mereka terima atau tolak. Artinya, selama masyarakat masih memiliki akses terhadap konten dakwah damai, moderat, dan berakhlak, maka pesan radikal bisa dikalahkan secara perlahan.
Tulisan ini tidak sedang menyamaratakan bahwa semua konten keislaman di media sosial bersifat radikal. Namun, penting untuk menggarisbawahi bahwa klaim kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam paling otentik perlu dikritisi. Pertanyaannya, apakah mereka bersedia menerima pandangan keislaman yang lebih substantif dan transformatif sebagaimana ditawarkan oleh arus utama umat Islam? Jawabannya, kemungkinan besar tidak.
Oleh karena itu, perlu ada upaya sistematis dari para da'i, cendekiawan, dan aktivis media Islam untuk mengisi ruang digital dengan konten dakwah yang lebih damai, inklusif, dan relevan dengan kebutuhan umat. Media sosial adalah medan dakwah yang strategis, tetapi juga rentan. Jika kita tidak hadir dengan narasi kebaikan, maka celah itu akan diisi oleh pesan-pesan yang justru merusak wajah Islam itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI