Ketidaksetaraan struktural menjadi akar permasalahan utama dalam memicu konflik dan kekerasan berbasis gender di Indonesia. Ketidaksetaraan ini lahir dari sistem sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil, yang menciptakan relasi kuasa timpang antara laki-laki dan perempuan. Dalam masyarakat patriarkal, perempuan sering kali dianggap subordinat sehingga akses mereka terhadap pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, dan pengambilan keputusan publik menjadi terbatas. Norma-norma budaya yang bias gender juga memperkuat ketidaksetaraan tersebut, menempatkan nilai-nilai maskulinitas di atas peran dan kontribusi perempuan. Hal ini memicu terjadinya diskriminasi yang tidak hanya bersifat individual, tetapi juga melembaga dalam struktur sosial, sehingga perempuan dan kelompok rentan lainnya terjebak dalam lingkaran diskriminasi dan kekerasan yang sulit diputuskan. (Fatiha, dll. 2025)
 Dampak dari ketidaksetaraan struktural ini sangat luas.Â
Kekerasan berbasis gender menjadi manifestasi nyata yang dialami perempuan dan kelompok rentan, mencakup kekerasan fisik, psikologis, seksual, ekonomi, hingga kekerasan sosial. Dalam ranah pendidikan, masih banyak ditemukan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pihak yang seharusnya menjadi pelindung, seperti guru. Sayangnya, kondisi ini diperburuk oleh minimnya pelaporan dan lemahnya penegakan hukum, sehingga pelaku kekerasan kerap tidak mendapatkan hukuman setimpal. Media massa juga turut memperkuat bias gender melalui pemberitaan yang sensasional dan cenderung menyalahkan korban, padahal seharusnya media menjadi agen perubahan yang mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kesetaraan gender dan perlindungan korban.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan strategis seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan pengarusutamaan gender (PUG) yang diintegrasikan dalam berbagai kebijakan pembangunan. Namun, implementasinya masih menghadapi banyak tantangan, seperti rendahnya pemahaman aparat pemerintah, keterbatasan anggaran, dan koordinasi antarlembaga yang lemah. Pendidikan kesetaraan gender sejak dini juga menjadi kunci untuk memutus bias yang telah mengakar kuat di masyarakat. Pemberdayaan ekonomi bagi perempuan penting dilakukan agar mereka memiliki posisi tawar yang lebih baik, serta akses yang setara terhadap sumber daya ekonomi. Penegakan hukum yang tegas dan responsif gender diperlukan untuk menciptakan rasa aman bagi korban dan mencegah terulangnya kekerasan.
Kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, masyarakat sipil, media, dunia usaha, dan organisasi internasional menjadi penting untuk menciptakan ekosistem yang mendukung kesetaraan gender. Jika semua pihak berkomitmen untuk bekerja sama, maka terciptalah lingkungan yang lebih adil, inklusif, dan bebas dari kekerasan berbasis gender. Dengan demikian, kesempatan yang sama bagi semua gender untuk berkembang dan berkontribusi dalam masyarakat akan terwujud.
Upaya Dalam Menanggulangi Ketidaksetaraan GenderÂ
Dalam hal ini, penelis mengambil contoh upaya menanggulangi ketidaksetaraan gender di Jepang dilakukan melalui kebijakan pemerintah yang diimplementasikan dalam Basic Plan for Gender Equality. Beberapa prioritas kebijakan yang dijalankan antara lain: peningkatan partisipasi perempuan dalam politik, kesetaraan kesempatan kerja, keseimbangan kehidupan kerja-rumah tangga, perlindungan dari kekerasan berbasis gender, serta dukungan untuk ayah agar lebih terlibat dalam pengasuhan anak melalui program Ikumen. Selain itu, gerakan Fathering Japan juga mendorong ayah untuk lebih aktif terlibat dalam keluarga, sehingga diharapkan dapat membantu menciptakan kesetaraan gender secara kultural dan struktural. (Widarahesty, 2018)
Referensi:
Andayu, A. A., Rizkyanti, C. A., & Kusumawardhani, S. J. (2019). Peran insecure
attachment terhadap kekerasan psikologis dalam pacaran pada perempuan
remaja akhir. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi, 6(2), 181--190.
Psikologi Mandala, 6(1), 69--78. https://ojs.daarulhuda.or.id/index.php/MHI/article/download/1003/1040