Mohon tunggu...
Naylah Afifah
Naylah Afifah Mohon Tunggu... Student of Hasanuddin University

Mengeksplorasi ide, menangkap cerita, dan merangkai sudut pandang untuk hari esok yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Pengaruh Konsumsi Labu Kuning terhadap Frekuensi Defekasi dan Gejala Konstipasi pada Remaja Putri"

26 September 2025   00:15 Diperbarui: 25 September 2025   23:16 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Konstipasi, yang secara umum didefinisikan sebagai penurunan frekuensi buang air besar (defikasi), kerasnya tinja, atau kesulitan dalam proses pembungan, merupakan masalah pencernaan yang cukup lazim pada remaja, terutama remaja putri. Faktor penyebab antara lain adalah asupan serat yang rendah, hidrasi yang tidak memadai, aktifitas fisik yang terbatas, pola makan yang tidak sehat, dan perubahan hormonal. Frekuensi defekasi dan gejala konstipasi bisa berdampak pada kualitas hidup, kesehatan psikologis, serta kondisi fisiologis seperti gangguan mikrobiota usus. Di Indonesia, konstipasi atau gangguan frekuensi defekasi pada remaja putri cukup banyak ditemukan. Beberapa penelitian menunjukkan angka prevalensi konstipasi fungsional pada remaja putri berkisar antara 17,7% hingga lebih dari 60%. Penelitian di Semarang melaporkan prevalensi sebesar 68,5%, sedangkan di Jakarta sekitar 36,9%. Bahkan penelitian terbaru oleh Thea, Sudiarti, dan Djokosujono (2020) di SMA Bunda Mulia Jakarta menemukan prevalensi konstipasi fungsional mencapai 75,3%. Data ini menunjukkan bahwa konstipasi merupakan masalah kesehatan yang signifikan pada kelompok remaja di Indonesia, khususnya pada remaja putri. Labu kuning (Cucurbita maxima, Cucurbita moschata) mengandung serat (larut dan tidak larut), air, senyawa fitokimia (misalnya karotenoid), serta berbagai vitamin dan mineral. Seratnya berpotensi membantu mempercepat transit usus, meningkatkan massa tinja, dan melunakkan tinja dengan membantu retensi air di dalam kolon. Dengan demikian, konsumsi labu kuning berpotensi memperbaiki frekuensi defekasi dan mengurangi gejala konstipasi.

Menurut Hosniyah dan Farapti (2024), konstipasi fungsional pada remaja sangat erat kaitannya dengan rendahnya konsumsi serat dan asupan cairan. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian Thea et al. (2020) yang menemukan bahwa mayoritas remaja di Jakarta memiliki asupan serat dan cairan di bawah AKG (Angka Kecukupan Gizi). Hal ini mendukung pentingnya intervensi berbasis pangan tinggi serat, salah satunya melalui konsumsi labu kuning. Labu kuning memiliki kandungan serat larut dan tidak larut yang bermanfaat bagi kesehatan seluran cerna. Serat tidak larut berperan menambah massa tinja dan mempercepat transit kolon, sedangkan serat larut mampu menyerap air, membentuk gel, dan melunakkan konsistensi feses (Choe et al., 2024). Selain itu, komponen polisakarida dalam labu kuning dapat difermentasi oleh mikrobiota usus, menghasilkan asam lemak rantai pendek yang menstimulasi motilitas usus dan mendukung keseimbangan flora usus (Li et al., 2024).

Penelitian in vitro oleh Li et al. (2024) menunjukkan bahwa polisakarida labu mampu meningkatkan pertumbuhan bakteri menguntungkan, Bifidobacterium dan Lactobacillus, serta mengurangi bakteri patogen. Perubahan komposisi mikrobiota ini berpotensi menurunkan gejala konstipasi melalui perbaikan fermentasi usus dan stimulasi peristaltik. Bukti serupa juga ditunjukkan oleh Wang et al. (2018), yang melaporkan bahwa polisakarida labu dapat meningkatkan produksi short chain fatty acids dan memperbaiki fungsi usus pada model hewan. Meskipun demikian, bukti empiris yang secara langsung meneliti efek konsumsi labu kuning terhadap konstipasi pada remaja putri masih terbatas. Studi yang ada lebih banyak berfokus pada populasi dewasa atau lansia. Oleh karena itu, diperlukan penelitian intervensional berbasis remaja putri untuk menguji secara langsung efek konsumsi labu kuning terhadap frekuensi defekasi dan gejala konstipasi.

Konsumsi labu kuning berpotensi meningkatkan frekuensi defekasi dan mengurangi gejala konstipasi pada remaja putri melalui kandungan serat, air dan senyawa bioaktifnya. Prevalensi konstipasi fungsional pada remaja Indonesia tergolong tinggi, misalnya 75,3% di Jakarta (Thea et al., 2020). Sebagai intervensi pangan sederhana, murah, dan aplikatif, labu kuning menjanjikan manfaat, namun bukti langsung pada remaja putri masih terbatas sehingga diperlukan penelitian eksperimental lebih lanjut.  

 

Referensi: 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun