Pameran seni fotografi "Primora" tidak hanya menawarkan visual yang memukau, tetapi juga menyentuh sisi terdalam kemanusiaan. Karya fotografi berjudul No Walls No Roofs, Only Love menjadi bukti bahwa fotografi mampu menangkap ironi kehidupan sekaligus menghadirkan kehangatan emosional. Dalam No Walls No Roofs, Only Love, terpampang potret keluarga kecil yang tinggal di dalam gerobak, namun tersenyum dan saling merangkul. Mereka tidak memiliki atap atau dinding, tapi mereka punya cinta yang cukup untuk menjadikan tempat tinggal itu sebagai rumah.
Bagi sebagian orang, fotografi adalah urusan teknis soal pencahayaan, sudut pengambilan gambar (angle), ketajaman fokus, efek visual, hingga kualitas kamera. Namun, ketika menyaksikan langsung hasil-hasil karya dalam pameran seni fotografi "Primora", persepsi terhadap fotografi pun mulai bergeser. Di balik setiap jepretan, tersimpan emosi, perjuangan, kisah hidup, dan realita yang tak selalu mudah. Foto-foto tersebut mampu berbicara kepada penonton, tanpa kata-kata. Bukan lagi tentang apakah sebuah foto indah atau tidak, melainkan seberapa kuat ia menyampaikan cerita.
Lebih dari sekadar dokumentasi, fotografi adalah sarana berekspresi dan berkomunikasi. Setiap frame adalah potongan waktu yang membekukan perasaan, cerita, dan bahkan nilai-nilai sosial. Seperti yang disampaikan dalam artikel Binus University (2021), fotografi bukan hanya tentang mengambil gambar, tetapi juga menyampaikan pesan yang mungkin tak sempat terucap. Di tangan fotografer yang peka, kamera menjadi jendela hati. Ia merekam bukan hanya objek, tetapi juga suasana dan konteks sosial di baliknya. Sebuah foto bisa menyentuh, menyadarkan, bahkan menggugah tindakan.
Seni fotografi juga dapat dipahami sebagai proses penyampaian pesan secara visual dari pengalaman pribadi fotografer kepada publik, dengan tujuan agar penonton dapat memahami atau bahkan mengikuti sudut pandang si pembuat gambar. Untuk mencapai hal tersebut, karya fotografi yang komunikatif perlu memenuhi prinsip komunikasi yang efektif. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah konsep AIDA (Attention -- Interest -- Desire -- Action), yaitu menarik perhatian, membangkitkan ketertarikan, menciptakan keinginan, dan akhirnya mendorong tindakan atau respons dari penontonnya. Ketika prinsip ini diaplikasikan dengan tepat, fotografi dapat menjadi medium yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menyentuh dan menggugah kesadaran sosial (Herlina, 2003).
Dalam salah satu artikel Kompas dibahas ungkapan legendaris "sebuah gambar bernilai seribu kata" yang dikenalkan oleh Frederick R. Barnard pada tahun 1927, tampaknya masih sangat relevan hingga saat ini. Dalam dunia yang serba cepat dan visual seperti sekarang, gambar lebih cepat ditangkap mata dan lebih mudah menggugah rasa. Foto yang baik tidak sekadar memperlihatkan objek, tetapi juga mengajak penonton untuk bertanya, merenung, bahkan merasa.
Namun, di era digital yang dibanjiri jutaan gambar setiap hari, makna mendalam sebuah foto bisa saja memudar. Ketika media sosial menyuguhkan visual secara instan dan terus-menerus, kita cenderung melewatkan nilai dari setiap gambar. Kita melihat tapi tidak benar-benar menyimak. Kita menatap, tetapi tidak merasa. Tantangan utama fotografi kini bukan hanya tentang menciptakan karya yang bagus, tapi juga karya yang bisa membuat orang berhenti sejenak, mengendapkan makna, dan merefleksikan hidup.
Namun, pameran seperti Primora memberikan ruang untuk kembali memahami kedalaman itu. Dengan bimbingan dari para penjaga pameran yang menjelaskan konteks dan proses di balik setiap karya, pengalaman menjadi lebih personal dan menyentuh. Foto-foto yang awalnya hanya tampak sebagai visual statis, berubah menjadi narasi hidup yang bisa dirasakan dan dipahami secara utuh. Perspektif terhadap fotografi berubah, dari sekadar visualisasi menjadi interpretasi emosional dan sosial.
Fotografi bukan sekadar tentang lensa, tetapi tentang cara pandang terhadap dunia. Ia menuntut kepekaan, keberanian untuk dekat dengan realitas, dan kemauan untuk membagikan kisah kepada orang lain. Fotografi adalah bahasa visual yang universal. Seperti halnya musik atau puisi, ia menyampaikan makna yang tak selalu bisa dijelaskan dengan logika, tetapi bisa dirasakan oleh hati. Komposisi hanyalah alat bantu. Yang paling penting adalah: apa yang ingin kita sampaikan dari sebuah gambar.
David Campbell, seorang peneliti visual, menyebut bahwa fotografi adalah narasi visual dunia. Dalam konteks komunikasi sosial, fotografi tidak hanya merekam, tetapi juga menyampaikan struktur dan dinamika kehidupan manusia. Setiap foto yang dipamerkan di Primora mengajak pengunjung bukan hanya untuk melihat, tetapi untuk merasakan dan memahami konteks yang lebih besar. Interaksi antara visual dan emosi terjadi secara natural. Melalui penjelasan naratif yang disampaikan oleh pemandu, setiap foto menjadi ruang perenungan yang menyentuh.
Fotografi dokumenter telah lama digunakan untuk mengangkat isu-isu sosial dan memperlihatkan sisi kehidupan yang jarang terlihat oleh publik. Dalam pameran primora, tema utama yang diangkat adalah kebutuhan primer manusia: sandang, pangan, dan papan. Lewat tiga ruang tematik yang menyerupai bagian-bagian rumah seperti ruang tengah, dapur, dan kamar tidur, para pengunjung diajak untuk merenungkan bahwa kebutuhan dasar bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal penghargaan terhadap hidup dan relasi manusia. Melalui foto, yang tak bersuara pun akhirnya bisa bicara.
Pada akhirnya, fotografi adalah jembatan antara visual dan kesadaran. Ia mengajak kita untuk tidak hanya melihat dunia dari permukaan, tapi menyelaminya lebih dalam. Foto bisa menyentuh hati lebih dalam dari kata-kata, menggugah empati, dan menumbuhkan kesadaran. Pameran primora menjadi bukti bahwa fotografi tidak mati oleh zaman, justru semakin hidup ketika dibingkai dengan nilai, makna, dan pesan. Sebab, lebih dari sekadar momen, fotografi adalah tentang kehidupan itu sendiri.
Referensi:
Binus University. (2021). Fotografi: Lebih Dari Sekedar Gambar. https://www.binus.ac.id/2021/10/fotografi-lebih-dari-sekedar-gambar/
Herlina, Y. (2003). Kreativitas dalam Seni Fotografi. Jurnal NIRMANA, 5(2), 214-228. http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
Kompas.id. (2022). Kekuatan Bercerita dalam Fotografi. https://www.kompas.id/baca/riset/2022/03/24/kekuatan-bercerita-dalam-fotografiÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI