Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seharusnya menjadi corong utama aspirasi mahasiswa, garda terdepan dalam melawan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, serta benteng terakhir idealisme kampus. Namun, kenyataan hari ini begitu pahit: BEM mulai kehilangan taringnya dan perlahan berubah menjadi ternak uji coba kekuasaan. Mereka yang seharusnya berani berbicara justru lebih sibuk mencari legitimasi dari elite kampus.Â
Kepemimpinan dalam BEM kini lebih banyak berorientasi pada akses dan koneksi ketimbang perjuangan. Diskusi kritis tergantikan dengan seminar formalitas, aksi massa bergeser menjadi audiensi penuh basa-basi, dan kritik keras mulai melembut menjadi negosiasi yang menguntungkan segelintir pihak.Â
Kepentingan mahasiswa dikorbankan demi posisi yang lebih aman di mata birokrasi. Ironisnya, banyak pengurus BEM hari ini kehilangan esensi mahasiswa sebagai aktor perubahan. Mereka tidak suka membaca, tidak mau memahami sejarah gerakan mahasiswa, dan hanya berkutat pada serangkaian program tanpa pendekatan massal yang matang.Â
Mereka sibuk dengan agenda-agenda birokratis yang tidak menyentuh realitas mahasiswa di lapangan. Mereka hanya menjadi kumpulan yang bergerak tanpa arah, sekadar menjalankan program dan program.
BEM hari ini juga tak lebih dari eksperimen politik masing-masing himpunan. Banyak dari mereka yang hanya masuk untuk merasakan bagaimana rasanya berada di lembaga tertinggi mahasiswa, lalu kembali ke himpunannya dengan pengalaman kosong.
Masih mending dengan membawa bekal yang sudah ditelan, ini sudah tidak? hanya sebagai pemanis-pemanis diruang-ruang proker. Â Tidak ada kesinambungan gerakan, tidak ada komitmen, hanya sekadar magang kekuasaan yang tidak menghasilkan perubahan berarti.
Di sisi lain, orang-orang yang paling lantang berbicara tentang gerakan mahasiswa justru berdiri di belakang, mengkritik paling keras tanpa berbuat apa-apa. Mereka sibuk menyamakan zamannya dengan zaman sekarang, memberikan masukan yang tak masuk akal, seolah-olah pergerakan mahasiswa hari ini bisa mengikuti pola perjuangan masa lalu tanpa memahami konteks yang sudah berubah. Kritik mereka bukan membangun, melainkan menjatuhkan semangat yang masih tersisa.
Kondisi ini diperparah dengan kampus yang semakin menekan pergerakan mahasiswa. Regulasi dibuat sedemikian rupa agar aksi-aksi mahasiswa semakin sulit dilakukan, ancaman akademik menjadi alat kontrol, dan pembungkaman suara kritis dianggap sebagai standar baru dalam menjaga "kondusifitas" kampus.
Dalam situasi ini, BEM seharusnya menjadi perlawanan, bukan justru menjadi bagian dari sistem yang menindas.
Namun, di tengah realitas yang suram ini, masih ada segelintir BEM yang mengupayakan untuk keluar dari skenario yang sudah disusun oleh kekuasaan. Mereka yang tetap berpegang teguh pada prinsip perjuangan, menolak menjadi alat politik, dan tetap melawan meski ruang geraknya semakin dipersempit.Â