Mohon tunggu...
Muhammad Nailu Wiqoyatillah
Muhammad Nailu Wiqoyatillah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fakultas ilmu sosial dan humaniora UIN SUkA Jogjakarta\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tanda-tanda Sudah Dekatnya Hari Kiamat

3 Januari 2014   11:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:12 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PART I : PASAR ILANG KUMANDANGE



Mengutip sebuah kalimat dari Kanjeng Sunan Kalijaga Rohimahullah ta’ala ‘anhu tentang akhir zaman : “Yen wis tiba titiwancine kali- kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange”. Jika kalimat ini diterjemahkan bebas ke dalam bahasa indonesia maka artinya akan menjadi seperti ini “ketika sudah datang masa dimana sungai hilang kedalamannya, pasar hilang keramaiannya dan wanita hilang kemaluannya’’. Kalau kita cermati apa yg diungkapkan oleh kanjeng sunan memang telah terbukti sekarang. Bisa kita tengok sendiri disekitar kita dimana banjir marak terjadi, pasar sepi karena sudah terganti dengan mall-mall mewah yang didirikan oleh investor asing dan banyak wanita sudah tidak punya rasa malu mengumbar aurat dimana-mana. Tapi kali saya tidak akan berhenti disini dalam memahami sebuah sastra besar yang diungkapkan oleh orang besar juga. Saya akan mencoba mengaitkan kalimat ini dengan keadaan dalam pesantren yang merupakan lingkungan saya semenjak kecil.

Kanjeng Rasul SAW pernah dhawuh dimana islam itu lahir dalam keadaan asing dan akan kembali terasing saat kiamat besok. Pondok Pesantren merupakan rumah bagi agama, karena disitu tempat dimana kita belajar apa agama. Tak pelak apa yg dilakukan didalamnya akan sangat “agamis”. Namun definisi tersebut mulai sedikit kondratiktif jika kita lihat realita yang ada karena sekarang disitu tak cuma ada perilaku “agamis” saja. Seiring dengan berkembangnya zaman, santri yang seharusnya “agamis” seakan bermetamorfosis menjadi modernis liberalis dan yg lebih parah lagi adalah menjadi hedonis (hidup hanya mencari kesenangan dunia saja). Mungkin santri-santri zaman dulu sangat jauh dari kata “modernis” karena di pondok manapun tak ada yang mengijinkan untuk nonton televisi dan membawa alat elektronik. Seorang yang sudah menjadi santri saat akan sangat jauh dengan gemerlapnya duniawi. Berbeda santri zaman sekarang yang sangat dekat dengan modernitas yang pada hakekatnya “kolonialisme modern” dari bangsa barat. “fastabiqul gadget” . berlomba-lomba dalam membeli gadget pun menjadi kegiatan santri jaman sekarang ketika dirumah, bahkan parahnya ketika di pondok. Walhasil kehidupan santri yang katanya “agamis” mulai sedikit redup seperti cahaya lampu yang kurang listrik. Kebanyakan santri sekarang memang lebih disibukkan dengan jejearing sosial mereka seperti facebook, twitter dll dibanding dengan aktivitas pondok seperti menghafal nadzom, muroja’ah, membuat setoran dan lain sebgainya . Jika kita tengok, mungkin hampir semua santri sudah memiliki facebook dan hanya sedikit santri saja yang tak memilikinya . Walau dirasa punya manfaat entah untuk silaturahim atau yang lainnya, hal seperti itu akan sangat menghabiskan waktu. Belum lagi jika alat tersebut digunakan untuk pacaran dan kegiatan negatif lainnya. “Pasar ilang kumandange”. Mungkin kalimat itu sangat pas sekali untuk menggambarkan kehidupan pesantren di era sekarang yang sudah terjajah oleh modernitas. Dizaman bapak saya mondok, mungkin di pesantren masih sangat bising sekali dengan kumandang lantunan ayat-ayat Allah dan bait-bait nadzom kitab klasik semacam alfiyah, imrithi, maqshud dan lainnya. Namun kini entah tak tahu kemana semakin hilang dari peradaban para snatri. Mungkin karena para ”musisi” (baca : santri) era ini sudah semakin sibuk dengan status-status dalam jejaring sosial mereka. Bahkan yang lebih parah lagi mereka malah lebih suka menghafal lagu-lagu band dalam televisi dan menyanyikannya disetiap saat. Padahal lagu-lagu tersebut sebenarnya hanyalah sebuah racun mematikan yang dikemas dengan indah untuk merusak mindset perndengarnya agar ikut galau dan susah.

BERSAMBUNG KE PART II.....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun