Tak hanya itu saja, Ramadhan pada zaman kolonial juga terdapat tradisi membunyikan bunyi-bunyian yang sangat keras seperti di Jawa dan Sumatra sebagai penanda awal Ramadhan.
"Jadi dengan meriam, petasan, mercon dan anak-anak bikin menggunakan pelepah pisang. Pokoknya bunyian yang keras-keras untuk menandakan awal Ramadhan," ucap Martina.
Kabar ini dipertegas dalam berita yang terekam dalam koran Berita Nahdlatul Ulama (BNO) edisi 1 November 1937 yang memuat maklumat Awal Ramadhan 1356 Hijriah.
Lebaran pada zaman pemerintaham Hindia Belanda kue lebaran juga mengalami akulturasi. Menurut Sejarawan Kuliner, Fadly Rahman, tradisi menyajikan kue kering baru muncul saat masa kolonial Belanda.
Pada zaman dahulu masyarakat menengah ke bawah cenderung menghidangkan kue lebaran yang bertekstur lengket dan basah. Sedangkan masyarakat menengah ke atas beralih menghidangkan kue kering yang lebih tahan lama seperti nastar dan kastengel.
"Dulu masyarakat Indonesia menyajikan kudapan-kudapan daerah seperti yang kita kenal sekarang saat Lebaran. Seperti opak, seperti apem, rengginang yang sekarang itu sebetulnya masih ada. Namun mereka berada di belakang bayang-bayang kue-kue Eropa ya seperti kastengel nastar yang sering kita jumpai sekarang yang dianggap lebih modern, lebih trendy," ujar Fadly
Selain itu tradisi mudik zaman dahulu juga dilakukan secara natural untuk berkunjung ke sanak keluarga dan berziarah ke makam leluhur. Selanjutnya baca artikel saya yang berjudul Tradisi Mudik dalam Sejarah Perkembangan dan Kearifan Budaya Lokal Indonesia.
Keunikan kultur Hari Raya Idul Fitri dan Ramadhan dari tahun ke tahun terus berkembang. Semoga Hari Raya Idul Fitri tahun ini menjadikan pengalaman kita yang akan dikenang dan menjadi catatan sejarah oleh generasi pada masa yang akan datang.
Sumber :