Pancasila bukan sekadar lima butir kalimat yang dihafalkan di sekolah atau dibacakan saat upacara bendera. Ia adalah nafas bangsa Indonesia yang lahir dari semangat kebangsaan yang tumbuh dari rakyat dan diperjuangkan dengan darah serta pemikiran para pendiri negeri. Sejarah mencatat, Pancasila tidak lahir begitu saja, melainkan melalui pergulatan panjang sejak masa pergerakan nasional, terutama saat BPUPKI membahas dasar negara pada tahun 1945. Dalam sidang bersejarah 1 Juni 1945, Soekarno memperkenalkan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa, sebuah konsep yang mengikat perbedaan dalam satu kesatuan cita-cita kemerdekaan.
Rumusan Pancasila tidak langsung diterima begitu saja. Dalam sidang BPUPKI kedua, Piagam Jakarta menjadi hasil kompromi antara kepentingan kelompok Islam dan nasionalis. Namun perubahan besar terjadi setelah Jepang kalah perang dan PPKI dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Dari sanalah dasar negara ini disempurnakan, bukan hanya sebagai simbol, tetapi sebagai jalan tengah untuk menyatukan keberagaman bangsa.
Setelah proklamasi kemerdekaan, 18 Agustus 1945 menjadi momentum penting karena Pancasila resmi disahkan dalam Pembukaan UUD 1945. Penghapusan "tujuh kata" dalam Piagam Jakarta menjadi bukti kebesaran jiwa para pendiri bangsa yang mengutamakan persatuan di atas kepentingan golongan. Pancasila kemudian menjadi fondasi konstitusional yang menegaskan arah moral dan politik Indonesia.
Namun perjalanan Pancasila tidak selalu mulus. Sejak masa Orde Lama hingga Orde Baru, ideologi ini sering dimanipulasi untuk kepentingan politik. Pada masa Soeharto, misalnya, Pancasila dijadikan asas tunggal dan digunakan untuk mengontrol masyarakat melalui penataran P-4. Ironisnya, di balik gembar-gembor tentang loyalitas terhadap Pancasila, nilai-nilainya justru dikerdilkan menjadi alat kekuasaan.
Meski demikian, kekuatan Pancasila terletak pada akarnya yang dalam berasal dari budaya, agama, dan tradisi bangsa sendiri. Nilai-nilainya, seperti gotong royong, keadilan sosial, dan musyawarah, sudah hidup jauh sebelum Indonesia merdeka. Pancasila adalah cerminan jiwa bangsa (volkgeist) yang menyatukan keragaman etnis, bahasa, dan agama di bawah semangat kemanusiaan yang adil dan beradab.
Namun di era modern, tantangan terhadap Pancasila justru datang dari masyarakat sendiri. Survei menunjukkan bahwa banyak generasi muda yang tak lagi hafal atau memahami makna sila-silanya. Di tengah derasnya arus globalisasi, Pancasila kerap dianggap kuno, padahal justru menjadi benteng moral untuk melawan ideologi yang mengancam persatuan bangsa. Nilai-nilainya harus kembali dihidupkan, bukan hanya dalam wacana akademik, tapi juga dalam tindakan sosial dan kebijakan publik.
Karena itu, Pancasila bukan sekadar warisan sejarah, melainkan pedoman masa depan. Ia adalah kompas moral yang harus dijaga oleh setiap warga negara agar bangsa ini tidak kehilangan arah. Dalam dunia yang kian pragmatis, Pancasila mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukan hanya hak, tetapi tanggung jawab untuk menegakkan kemanusiaan, keadilan, dan persatuan Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI