Kini di negara ini, kata "korupsi" sudah bukan lagi momok yang membuat dahi berkerut. Ia telah menjelma menjadi berita sehari-hari yang disaksikan oleh masyarakat, hadir di berita pagi, siang, dan malam, bahkan di tengah obrolan warung kopi. Saking seringnya terdengar, ia kehilangan efek kejutnya. Yang lebih menyedihkan, rakyat mulai percaya bahwa korupsi bukan lagi sekadar tindakan kriminal, melainkan bagian dari budaya yang diam-diam diakui keberadaannya. Kini, tak ada lagi bidang yang benar-benar suci dari jeratan tangan-tangan rakus.
Dari sektor pangan yang menentukan isi piring rakyat, pendidikan yang seharusnya melahirkan generasi berintegritas, teknologi yang seharusnya mendorong kemajuan, hingga tambang dan sumber daya alam yang menjadi penopang ekonomi. Bahkan sektor ibadah haji yang seharusnya berdiri di atas nilai keikhlasan dan pelayanan pun tercemar. Berita tentang penggelembungan anggaran, permainan kuota, atau pungli di belakang layar, semua hadir seperti paket rutin yang tidak pernah absen.
Yang membuat rakyat semakin geram adalah bagaimana semua ini seperti permainan yang berulang. Kasus terbongkar, pelaku dipajang di media, masuk penjara, lalu tak lama berselang, orang lain mengulangi pola yang sama. Hukuman yang ringan, celah hukum yang lebar, serta mentalitas "asal ada bagian" membuat rantai ini tidak pernah putus. Rakyat pun mulai bertanya-tanya, apakah kita sedang melawan kejahatan, atau hanya sekadar menyaksikan pergantian aktor dalam panggung besar bernama korupsi? Dari tahun ke tahun, rasa percaya itu terkikis. Awalnya hanya pada segelintir pejabat. Lalu merambat ke lembaga, ke partai, bahkan ke institusi yang seharusnya memegang nilai moral. Kepercayaan yang runtuh ini menumbuhkan skeptisisme massal. Masyarakat menjadi apatis, tak lagi berharap pada janji reformasi, tak lagi yakin pada jargon pemberantasan. Sebab terlalu sering mereka dikecewakan.
Belum lagi, ada pola yang kini semakin nyata dan membentuk luka baru dalam hubungan pemerintah dengan rakyat, yaitu pola kebijakan yang lahir tanpa perhitungan matang, bertentangan dengan logika kemajuan, dan terasa jauh dari kepentingan kesejahteraan publik. Pola ini bukan hanya terjadi sekali dua kali, tapi berulang seperti sebuah naskah lama yang dipentaskan terus-menerus dengan aktor yang berganti-ganti.
Contohnya masih baru di ingatan masyarakat. Rencana pemblokiran rekening yang tidak memiliki transaksi selama tiga bulan oleh PPATK sontak memicu gelombang keresahan. Bagi rakyat kecil, rekening bank bukan sekadar tempat keluar masuk uang, tetapi simbol rasa aman, tabungan masa depan, dan cadangan darurat. Lalu, bagaimana mungkin negara yang seharusnya menjadi pelindung justru mengancam untuk menutup pintu simpanan itu hanya karena tak ada aktivitas selama waktu tertentu? Alasan resmi boleh saja dikemas manis, seperti upaya pencegahan pencucian uang atau pendanaan ilegal, tetapi cara yang dipilih jelas terasa seperti memukul nyamuk dengan meriam yang menghantam semua, termasuk yang tidak bersalah.
Belum reda isu itu, publik dikejutkan lagi oleh kabar tentang rencana fitur telepon di WhatsApp yang konon hanya akan tersedia untuk pengguna premium. Memang, belakangan ada klarifikasi bahwa kebijakan tersebut bukanlah inisiatif pemerintah langsung, tetapi kegaduhan yang tercipta memperlihatkan sesuatu yang lebih dalam, yakni  komunikasi publik yang lemah, keterlambatan respon, dan minimnya transparansi. Rakyat sudah telanjur resah, lalu dijawab dengan "klarifikasi" atau "permintaan maaf" yang terkesan hanya formalitas.
Pola ini terus berulang, kebijakan diumumkan atau bocor ke publik, rakyat marah, protes membesar, lalu pejabat terkait memberikan pernyataan yang mengesankan bahwa semua hanyalah salah paham. Seolah-olah tidak pernah ada niat untuk menyusahkan, padahal keresahan sudah telanjur meracuni rasa percaya. Dari sudut pandang rakyat, situasi ini seperti menonton orang yang sengaja menginjak kaki kita, lalu tersenyum sambil berkata, "Maaf, tidak sengaja." Mungkin maafnya terdengar tulus, tapi sakitnya tetap terasa, dan kita mulai mempertanyakan apakah kejadian itu benar-benar tidak disengaja atau hanya bagian dari kebiasaan.
Inilah yang membuat rakyat semakin terjebak dalam trust issue. Mereka mulai menganggap setiap kebijakan baru sebagai potensi ancaman, bukan solusi. Bahkan kebijakan yang sejatinya baik pun kini dipandang dengan curiga, karena sejarah menunjukkan bahwa apa yang dimulai dengan niat baik sering kali berakhir dengan beban bagi rakyat.
Di titik ini, kita harus bertanya, apakah kita mau terus menerima pola yang sama, atau mulai menuntut perubahan cara berpikir dan bertindak? Jangan sampai kita terjebak menjadi masyarakat yang hanya bereaksi ketika masalah sudah di depan mata, lalu kembali diam setelah badai reda. Sebab diamnya rakyat adalah lahan subur bagi lahirnya kebijakan-kebijakan serupa di masa depan.
Berpikir kritis bukan berarti selalu curiga atau selalu menolak. Berpikir kritis berarti mau mencari tahu, memahami alasan di balik sebuah kebijakan, menilai manfaat dan risikonya, lalu berani bersuara ketika yang diputuskan jelas merugikan. Kita tidak bisa lagi puas dengan klarifikasi atau janji, kita butuh jaminan nyata bahwa kepentingan rakyat menjadi prioritas utama, bukan sekadar slogan yang diucapkan di depan kamera. Tanpa kepercayaan, setiap kebijakan hanyalah lembaran kertas tanpa daya. Dan jika rakyat terus memaafkan tanpa menuntut perbaikan, maka jangan salahkan siapapun ketika pola yang merugikan ini terus berulang.
Kita tidak butuh alasan yang dibungkus rapi, kita butuh kebijakan yang masuk akal, berpihak, dan dijalankan dengan logika yang sehat. Sebab negara ini tidak dibangun dari janji yang terdengar indah, melainkan dari keberanian untuk menepati janji itu tanpa merugikan mereka yang telah memberikan kepercayaan.
Pada akhirnya, pemerintah boleh saja mengklaim niat baik di balik setiap kebijakan, tetapi rakyatlah yang merasakan dampak nyatanya. Dan di mata rakyat, niat baik tanpa logika dan keberpihakan hanyalah hiasan retoris yang menutupi kegagalan. Kita sudah terlalu sering diberi janji, disuguhi klarifikasi, dan diminta memahami "situasi yang kompleks" setiap kali keresahan mencuat. Tetapi yang kompleks itu bukan masalahnya yang kompleks adalah upaya rakyat untuk terus percaya di tengah pola yang selalu berulang.