Jakarta, 19 Juli 2025- Di tengah geliat tranformasi digital yang semakin tak terbendung, kecerdasan buatan atau Artificial Intelligance (AI) menjadi salah satu teknologi paling cepat berkembang dan menyentuh di berbagai lini kehidupan, termasuk dalam dunia kreatif dan jurnalistik. AI yang awalnya hanya menjadi alat bantu, kini AI menjelma menjadi "kolaborator" yang mampu menghasilkan karya visual hingga karya kejurnalistikan dalam waktu singkat. Lalu, apakah hal ini mengancam eksistensi para pekerja kreatif dan jurnalis ?
Bagi Aji Juasal, seorang kreator visual dari instagram @ajiarchive.psd yang sudah banyak berkarya di bidang desain grafis digital, AI bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Justru sebaliknya, teknologi AI ini menjadi peluang baru untuk meningkatkan efisiensi dan memperkarya proses kreatif.
"AI bukan cuma alat bantu, tapi sudah bisa jadi 'kolaborator' kreatif. Tapi buat saya, AI itu bukan suatu ancaman, Â justru jadi alat baru yang harus kita pelajari dan manfaatkan," ungkap Aji dalam pesan via WhatsApp, Rabu (9/7).
Aji menjelaskan bahwa dalam proses brainstroming, fase awal yang sering kali memakan waktu yang cukup lama dan AI kini dapat membantu menghadirkan berbagai alternatif ide visual. Tak hanya itu, kemampuan AI dalam mengolah gambar dan menyusun desain  secara otomatis juga dinilai bisa mempercepat workflow (alur kerja) yang sebelumnya bersifat manual.
Meski demikian, dibalik semua kemudahan itu, Aji menyadari bahwa ada tantangan besar yang kini dihadapi para kreator. Tantangan besar itu adalah membanjirnya konten visual yang "ramai" tapi miskin makna.
"Banyak konten  sekarang yang secara teknis menarik, tapi kehilangan kedalaman dan identitas visual yang kuat. Tantanganya bukan sekedar buat desain bagus, tapi gimana caranya mempertahankan nilai orisinalitas dan suara personal di tengah banjir visual,"ungkapnya.
Lebih lanjut, aji menjelaskan di sinilah letak keunggulan manusia yang tidak bisa digantikan oleh AI. Intuisi, pengalaman hidup, dan sensitivitas emosional adalah elemen-elemen yang hanya bisa lahir dari proses manusiawi yang jauh dari kata 'algoritma'.
"Kreator murni masih punya keunggulan yang nggak bisa ditiru AI seperti, intuisi, pengalaman hidup, dan emosi. Kalau kita adaptif, AI justru bisa menjadi kekuatan tambahan." jelasnya.
Sementara itu, dari sisi jurnalistik, diskusi mengenai penggunaan AI menjadi  topik yang semakin relevan. Liza, Pimpinan Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Journoliberta, melihat fenomena ini dari dua sisi antara, efisiensi kerja dan potensi erosi nilai nilai jurnalistik.
"AI sudah mulai menggantikan kemampuan wartawan tulis dalam mengolah informasi menjadi berita utuh. Bahkan live report pun sekarang sudah bisa dilakukan oleh teknologi AI yang menyerupai cara manusia menyampaikan informasi," ungkap Liza dalam pesan via WhatsApp, Jumat (18/7).
Liza menyebut bahwa saat ini banyak redaksi mulai memanfaatkan AI untuk menghasilkan berita cepat. Cukup dengan memasukan prompt atau perintah teks, AI bisa menyusun artikel dalam hitungan detik yang menjadi efisiensi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah industri media.
Meski demikian, Liza juga menggarisbawahi bahwa tidak semua produk jurnalistik bisa diambil begitu saja oleh mesin.
"Radio dan foto jurnalistik masih butuh 'human touch'. AI Â belum bisa merasakan atmosfer atau menangkap momen secara emosional," ungkapnya.
Liza menekankan bahwa posisi AI sebaiknya tidak dilihat sebagai pengganti atau ancaman jurnalis, melainkan sebagai pendukung kinerja  redaksi.
"AI bisa bantu dalam hal grammar, cek data, atau menyusun struktur tulisan. Tapi untuk produk seperti featur, editorial, dan human interest, AI belum mampu menyamai sentuhan manusia". ungkapnyaÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI