Mohon tunggu...
Naufal Aflah Herdanto
Naufal Aflah Herdanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Persis Bandung

Diaspora Suku Jawa di Tanah Priangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Muhammadiyah Bukan Organisasi Kristen! Satu Abad Muhammadiyah Pekajangan (1)

22 Mei 2022   16:12 Diperbarui: 22 Mei 2022   17:10 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kantor Pimpinan Muhammadiyah Pekajangan yang baru dibuka sesudah wafatnya K.H Abdurrahman (direproduksi dari Riwayat Hidup K.H Abdurrahman)

Pada awal kehadirannya, Muhammadiyah sudah banyak dihadapkan pada berbagai permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat pribumi Hindia Belanda. Pergerakan yang lahir pada tahun 1912 ini memiliki empat misi yang dijalankan, yaitu pembaruan agama, perubahan sosial, kekuatan politik, serta pembendung kristenisasi. Tak terkecuali riwayat panjang pendirian Muhammadiyah Pekajangan yang berangkat dari persoalan sosial dan pendidikan masyarakat di akar rumput.

Pekajangan sendiri merupakan sebuah desa kecil yang masuk ke dalam wilayah administratif kota Pekalongan, Jawa Tengah. Secara geografis wilayah Pekajangan terletak di bawah Kecamatan Kedungwuni, bagian selatan Kota Pekalongan.

Pekajangan banyak dihuni oleh komunitas masyarakat dengan tradisi panjang dalam pembuatan batik yang menjadi mata pencaharian mayoritas masyarakatnya. Hasil kerajinan batik kemudian dipasarkan ke berbagai daerah di luar Pekajangan seperti Yogyakarta dan Solo. 

Hasil produksi batik yang ada bukanlah untuk keperluan domestik melainkan hanya terbatas pada keperluan perdagangan indidividu semata. Kendati demikian, pesatnya penjualan batik di Pekajangan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kemunculan lembaga-lembaga Islam di sana. Hal ini disebabkan semakin besar kekayaan seorang pengusaha batik, semakin besar pula peluang mereka untuk mengakses lembaga-lembaga pendidikan Islam dan menunaikan ibadah haji. Faktor ini pula yang nantinya turut menjadi sebab berdirinya Muhammadiyah di Pekajangan.

Kelahiran Muhammadiyah Pekajangan tidak bisa dilepaskan dari peran seorang putera daerah Pekajangan pengusaha batik dan stagen bernama K.H Abdurrahman (1879-1966). Lahir di tengah keluarga pengusaha batik dengan ekonomi yang mapan membuat K.H Abdurrahman memiliki kesempatan untuk mengenyam ilmu di beberapa pesantren sebagai lembaga pendidikan mainstream yang mahsyur ketika itu, serta tak lupa berhaji ke baitullah. 

Berbekal keilmuan dan pengalamannya baik ketika menempuh pendidikan di pesantren maupun saat berhaji, K.H Abdurrahman pada akhirnya mendirikan lembaga pendidikan keagamaan umum bernama Ambudi Agama yang kelak menjadi cikal bakal Muhammadiyah di Pekajangan. Ambudi Agama sendiri pada awalnya hanyalah kelas pengajaran agama informal yang diinisiasi K.H Abdurrahman atas izin karibnya; Haji Dimyati yang ketika itu menjadi Kepala Desa Pekajangan. Pengajian ini sendiri berbentuk majelis pengajaran agama Islam dan baca Qur'an yang dilaksanakan di langgar hingga masjid desa.

 Namun seiring dengan berjalannya waktu, kelas itu semakin berkembang dan menjadi lebih terorganisir hingga akhirnya terbentuk lembaga pengajian bernama Ambudi Agama pada tahun 1921. Dalam pelaksanaannya K.H Abdurrahman mendapat dukungan dari teman-teman karibnya, seperti K.H Dimyati, K.H Cholil, Chumasi Hardjosubroto, Kiai Asmu'i yang pernah menjadi Ketua Pondok Djamsaren di Solo dan rekan-rekan lainnya

Belum genap setahun beroperasi, pada tahun 1922 organisasi ini harus diberhentikan pemerintahan kolonial Belanda dengan dasar peraturan Ordonasi Guru-Agama Islam-yang dikeluarkan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1905 atas saran Het kantoor voor Inlandsche zaken (kantor bagian urusan pribumi.) 

Di tengah halangan dalam penyiaran agama Islam, K.H Abdurrahman teringat kabar tentang berdirinya perkumpulan agama Islam bernama Muhammadiyah di Yogyakarta. Ketika itu ia cukup menaruh perhatian pada Muhammadiyah karena mereka memiliki lembaga pendidikan bernama Pondok Muhammadiyah yang  cukup terkenal. 

Hal itu bukan hanya karena mereka berani meminjam sistem klasikal dan piranti atau unsur-unsur pendidikan Belanda, termasuk mengintegrasikan ilmu-ilmu sekuler dan ilmu-ilmu agama sekaligus, tapi juga kegiatannya yang cenderung aman serta tidak terkena represi Pemerintahan Kolonial.

Foto Terakhir K.H Abdurrahman dan Istrinya; Nyai Hj. Sofijah tahun 1965 (direproduksi dari Riwayat Hidup K.H Abdurrahman)
Foto Terakhir K.H Abdurrahman dan Istrinya; Nyai Hj. Sofijah tahun 1965 (direproduksi dari Riwayat Hidup K.H Abdurrahman)

Guna mengonsultasikan masalah yang tengah terjadi, K.H Abdurrahman memutuskan untuk datang langsung ke Yogyakarta ditemani Kiai Asmu'i. Namun keberangkatan K.H Abdurrahman ke Yogyakarta sempat dicekal oleh beberapa kawannya, salah satunya Chumasi Hardjosubroto yang mengklaim bahwa perkumpulan Muhammadiyah yang berada di Yogyakarta merupakan perkumpulan Kristen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun