Mohon tunggu...
Nathania Yunita Dharma
Nathania Yunita Dharma Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Kajian Gender, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

Personal problems are political problems (Hanisch, 1969).

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mediasi Tanpa Konsen: Keberpihakan Semu pada Korban Pelecehan Seksual

25 Mei 2025   15:40 Diperbarui: 25 Mei 2025   15:30 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk ancaman kekerasan berbasis gender yang terus menghantui perempuan sampai dengan hari ini. Setidaknya, tiga dari lima perempuan pernah mengalami pelecehan seksual (KRPA, 2025). Survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa perempuan merupakan kelompok yang sangat rentan untuk menjadi korban pelecehan seksual, yakni dengan total 3.539 kasus pelecehan seksual yang terjadi pada perempuan atau 83.55 persen dari total keseluruhan responden. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa ruang publik seperti jalanan umum atau taman menjadi lokasi yang paling rentan untuk terjadi pelecehan seksual dengan total persentase sebesar 70 persen (KRPA, 2022).

Tingginya angka pelecehan seksual dan berbagai bentuk kekerasan seksual lainnya yang terus terjadi secara berulang juga dipengaruhi oleh proses penanganannya yang problematik dan memiliki kecenderungan untuk "disederhanakan". Salah satu bentuk penyelesaian kasus pelecehan seksual dan kekerasan seksual yang sangat umum dan bahkan memiliki kecenderungan untuk dinormalisasi adalah penggunaan upaya mediasi. Mediasi penal (penal mediation) merupakan salah satu bentuk penyelesaian tindak pidana secara alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR) yang banyak dilakukan untuk mencari jalan tengah atas suatu penyelesaian sengketa pidana dengan mempertemukan pelaku tindak pidana dengan korban (Nadyanti et al., 2018). Hadirnya mediasi penal sebagai salah satu bentuk penyelesaian masalah juga dipengaruhi oleh budaya masyarakat Indonesia yang menekankan pada prinsip musyawarah mufakat (Nadyanti et al., 2016).

Upaya penyelesaian berbagai kasus, secara khusus kasus pelecehan seksual melalui mediasi menghadirkan pertanyaan reflektif bagi saya. Sejauh apa mediasi bisa dilakukan sebagai upaya penyelesaian kasus pelecehan seksual serta di mana posisi dan prinsip keberpihakan pada korban dalam proses mediasi? Apakah mediasi benar-benar bisa memberikan jalan tengah yang bersifat win-win solution bagi korbannya atau justru malah memaksa korbannya untuk mengikhlaskan semua yang terjadi atas dalih damai? Pertanyaan-pertanyaan tersebut lahir atas refleksi pribadi saya sebagai salah satu korban pelecehan seksual pada awal tahun 2025 yang mengalami proses mediasi tanpa konsen oleh aparatur RW di sekitar lokasi kejadian dan juga dipaksa untuk dipertemukan secara langsung dengan pelaku.

Pelecehan Seksual adalah Tindak Pidana yang Seharusnya Diproses Secara Hukum

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan salah satu aturan hukum yang secara khusus mengatur terkait dengan kekerasan seksual, termasuk upaya pencegahan, pelindungan, akses keadilan, serta pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau yang berikutnya disebut sebagai UU TPKS mendefinisikan kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual sebagai bentuk tindak pidana sehingga korbannya berhak memperoleh pelindungan dan layanan hukum sebagai bentuk penanganan.

Pelecehan seksual sebagai salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual terbagi lagi ke dalam dua bentuk, yakni pelecehan seksual nonfisik dan fisik. UU TPKS pada Pasal 5 dan Pasal 6 secara jelas dan rinci menjelaskan ancaman pidana yang dapat menjerat pelaku pelecehan seksual serta deskripsi tentang definisi pelecehan seksual baik secara fisik maupun nonfisik. Pasal 7 Ayat 1 menegaskan bahwa pelecehan seksual merupakan delik aduan, yang artinya tindak pidana tersebut hanya bisa diproses jika korban melaporkan kasus pada pihak yang berwajib.

Penempatan pelecehan seksual sebagai kasus delik aduan bukan semerta-merta membuka jalan bagi kasus pelecehan seksual  untuk diselesaikan melalui jalur damai atau mediasi. Bahkan sebelum disahkannya UU TPKS, kasus kekerasan seksual seringkali hanya diselesaikan dengan proses mediasi antara korban dan pelaku (Wahyuni, 2022b). Proses mediasi di dalam upaya penyelesaian kasus pelecehan seksual bukanlah sebuah solusi sebab upaya mediasi tidak mampu memberikan efek jera kepada pelakunya dan pelaku berpotensi untuk mengulang kembali perbuatannya (KPAI, 2015). UU TPKS, yang kemudian ditegaskan kembali oleh mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA),  yakni Bintang Puspayoga secara eksplisit menegaskan bahwa kasus kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual tidak boleh diselesaikan secara damai dan harus diproses secara hukum sebab bertentangan dengan Undang-Undang (Thenniarti, 2023).

Konsen Korban adalah yang Pertama dan Utama

Konsen (concent) korban merupakan aspek penting di dalam proses mediasi. Hal ini disebabkan oleh kasus kekerasan seksual yang berbeda dengan kasus lainnya, di mana terdapat komponen emosional yang perlu dipertimbangkan (Bonina, 2023). Penegasan akan dampak traumatis yang dialami korbannya dalam proses mediasi menjadi salah satu aspek penting yang perlu dipertimbangkan, terutama dalam menentukan prosedur mediasi yang berpihak kepada korbannya.

Konsen di dalam mediasi juga berkaitan dengan optimalisasi partisipasi korban di dalam upaya pemulihan. Pendekatan mediasi sangat rentan dalam meningkatkan trauma korban sebab di dalam proses mediasi pada umumnya korban akan dihadapkan pelaku  (Wahyuni, 2022c). Bagaimana proses mediasi dapat berlangsung jika korbannya dipaksa untuk dipertemukan dengan pelaku dalam kondisi tidak siap dan berada di bawah tekanan mental?

Mediasi yang dilakukan pada saat itu tidak didasarkan pada konsen saya sebagai korban. Saya berkali-kali menolak untuk dipertemukan dan ditempatkan di dalam satu ruangan yang sama dengan pelaku, namun aparatur RW setempat tetap memaksa saya untuk duduk dan berunding. Mediasi tersebut sempat dilakukan sebanyak dua kali, sebab pelaku sempat kabur sebelum mediasi pertama dan saya dipulangkan dan dipanggil kembali untuk datang di mediasi kedua pada malam yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun