Generasi Z, mereka yang lahir antara tahun 1990 hingga 2010, tumbuh di era ketidakpastian.
Gempuran teknologi digital dan globalisasi yang begitu cepat menjadikan dunia akhir-akhir ini lebih sulit ditangani mereka. Karakter generasi Z digambarkan sebagai adaptif, kreatif, dan kritis. Namun, apakah semua generasi Z betul-betul bisa beradaptasi? Atau mereka hanya memaksakan dirinya untuk seolah-olah mampu beradaptasi, meski kesehatan mentalnya terus merosot?
Media sosial memberikan standar tidak realistis
Bisa dikatakan bahwa apa yang dilihat bukanlah keseluruhan potret.
Beberapa tahun akhirnya, masalah kesehatan mental pada generasi Z menjadi perhatian besar di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Media sosial, sebagai faktor yang paling sering disebut, memang memberikan kesempatan bagi mereka untuk berinteraksi secara luas-luasan. Namun, juga memunculkan tekanan psikologis yang hebat.Â
Banyak anak muda yang terjebak dalam kebiasaan membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang tampak sempurna di layar. Mereka melihat gaya hidupnya, pencapaiannya, dan kebahagiaan orang lain tanpa menyadari bahwa hal yang ditampilkan itu sering kali hanya kenyataan sebagian.Â
Contohnya sederhana, pengguna media sosial meng-upload kemenangannya dalam kejuaaran tertentu. Namun, tidak memperlihatkan usaha dan kerja keras yang dituangkannya. Bisa dikatakan bahwa apa yang dilihat bukanlah keseluruhan potret.
Dengan itu, perasaan minder, tidak puas, serta hilangnya kepercayaan terhadap dirinya sendiri muncul. Apabila masalah ini berlangsung tanpa henti, kondisi ini dapat membuat jiwa mereka semakin merana dan menderita. Kehilangan semangat hidup dan terjebak dalam siklus negatif yang sulit diputus
Kondisi ekonomi meluruh di depan mata mereka