Mohon tunggu...
Natascia Iphonne Parameswari
Natascia Iphonne Parameswari Mohon Tunggu... Lainnya - sebagai akun memenuhi tugas dan belajar menulis

wadah untuk belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sengketa Tanah yang Terjadi di Banyuwangi

1 November 2020   15:45 Diperbarui: 1 November 2020   15:53 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sebuah pembangunan maka memerlukan adanya lahan, dimana untuk membangun bangunan diatas lahan memerlukan bukti kepemilikan dan izin. Dalam pembelian tanah terhadap pihak lain, maka diperlukannya SKT atau Surat Kepemilikan Tanah. Surat Kepemlikan Tanah ini menegaskan tentang riwayat tanah yang dimana merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah untuk proses pendaftaran tanah. Bila dalam proses beli tanah tidak ada SKT guna bukti kepemilikan maka permasalahan sengketa tanah maka akan terjadi.

Dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Naional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan dijelaskan bahwa sengketa adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas. Sengketa tanah ini diakibatkan karena ketidakjelasan dalam administrasi sertifikat dengan akibat ada dua orang pemegang sertifikat tanah tersebut.

Di Banyuwangi pada tahun 2019 diguncang dengan fenomena mengejutkan mengenai sengketa tanah, dimana permasalahan tanah ini melibatkan ratusan perabotan, bebatuan dan beberapa kantong plastik berisikan kotoran sapi untuk ikut mengambil peran serta aksi dalam mengusahakan aksi penolakan pergusuran yang berada di Jalan Kepiting, Kelurahan Tukangkayu, Banyuwangi. 

Bebatuan dan Kotoran sapi dalam balutan plastik ini dapat mengambil langkah kemenangan sementara sewaktu menghadapi operator alat berat. Dalam beberapa pantauan awak media massa,bebatuan ini berhasil menghancurkan kaca excavator hingga menjadi kepingan kaca. Bahkan, puluhan plastik berisikan kotoran sapi ini beterbangan menghantam petugas hingga membuat sejumlah petugas belepotan akan tinja sapi.

Meski aksi perencanaan pengeksekusian sempat tertunda akibat dari kemenangan aksi tinja sapi, namun proses eksekusi pada lahan seluas 2,4 hektare ini tetap berjalan. Karena warga mengetahui bahwa kemenangan di tangan penggugat tanah, membuat warga memanfaatkan waktu mereka untuk membongkar rumah mereka masing-masing dengan harapan dapat membangun rumah mereka kembali dengan memanfaatkan genteng,pintu,jendela,kabek serta kayu dalam rumah yang akan dieksekusi. 

Namun, peletakkan barang-barang yang diselamatkan oleh para warga ini tidaklah sesuai dengan tempatnya dikarenakan mereka meletakkan barang-barangnya ditengah jalan sehingga akses jalan tersebut ditutup. Dengan akses jalan yang ditutup membuat orang yang ingin menuju ke tempat yang dituju yang melalui akses jalan tersebut membuat pengguna jalan harus memutar arah atau lewat jalan lain.

Proses eksekusi pada rumah ini dilakukan secara berkala dimana untuk rumah kosong eksekusinya diprioritaskan, untuk rumah yang berpenghuni ekskusi ditunda dan memberi kesempatan terhadap warga. 

Eksekusi ini dipantau oleh beberapa polisi, meski warga sempat tidak dapat dikontrol namun dengan melewati berbagai aksi penenangan yang dilakukan oleh polisi akhirnya para warga dapat tenang dan mengerti sehingga proses eksekusi dapat berjalan dengan kondusif. 

Persengketaan tanah ini akibat dari adanya kesalahan didalam jual-beli tanah antara si penjual dengan si pembeli. Salah satu keterangan dari warga yang rumahnya dieksekusi ini membeli tanah kepada penjual yang mengaku sebagai pemilik sah tanah dengan harga 9 hingga 30 juta per kaplingnya pada tahun 90-an. 

Penjual yang mengaku sebagai pemilik tanah ini adalah saudara tiri dari pemilik sah tanah 2,4 hektare tersebut. Setelah berpuluh tahun dalam kecurigaan pemilih tanah yang sah mencari kebenaran kepihak kelurahan hingga menemukan fakta bahwa tanah yang suratnya ia miliki telah dijual secara diam-diam oleh saudara tirinya. 

Selama 58 tahun membayar pajak atas tanah yang telah dijual secara diam-diam, pemilik tanah dengan berbgaia bukti yang ia miliki lalu mengajukan tuntutannya hingga ke MA yang lalu dengan keputusan MA mengatakan bahwa ia adalah pemenangnya. Pengadilan MA mengatakan bahwa sertifikat kepemilikan tanah adalah milik penuntut atau hak waris asli bukanlah milik anak tiri yang menjualkan tanah-tanah tersebut ke sejumlah orang atau sebanyak 45 kepala keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun