Mohon tunggu...
Natanael KHSimbolon
Natanael KHSimbolon Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Jambi

Mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Jambi memiliki hobi menyanyi dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perda Penataan PKL Ketika Hukum Hanya Menjadi Hiasan

3 Oktober 2025   10:07 Diperbarui: 3 Oktober 2025   10:06 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pedagang Kaki Lima atau yang disingkat dengan PKL adalah istilah untuk menyebut pedagang yang menggunakan gerobak. PKL ini muncul karena keadaan keuangan yang tidak pasti sehingga membuat keinginan untuk mencari pekerjaan dengan cara berjualan menggunakan modal yang relatif kecil guna memenuhi kebutuhan. Karena dalam pikirkan para pedagang yaitu hasil dari berjualan itu halal dan terlihat ada suatu usaha dari pada harus minta-minta bahkan menjadi orang jahat seperti pencuri. PKL menjadi perkerjaan yang cukup banyak dipilih oleh mayoritas masyarakat menegah kebawah dan pendatang.

Di tengah denyut kehidupan Kota Jambi, PKL menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap sosial dan ekonomi. Mereka bukan sekadar pelaku usaha kecil, tetapi simbol perjuangan masyarakat menengah ke bawah yang berusaha bertahan di tengah tekanan ekonomi. Gerobak mereka adalah manifestasi harapan, kerja keras, dan semangat untuk hidup mandiri tanpa bergantung pada belas kasihan orang lain.

Namun, di balik semangat itu, tersimpan persoalan yang tak kunjung terselesaikan ketidaktertiban ruang kota. Kawasan Pasar Talang Banjar menjadi potret nyata bagaimana keberadaan PKL yang tidak tertata telah mengganggu fungsi ruang publik, menciptakan kemacetan, dan merusak estetika kota. Badan jalan yang semestinya mendukung kelancaran lalu lintas justru menjadi titik kemacetan harian. Ironisnya, semua ini terjadi di bawah bayang-bayang Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2016 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL produk hukum yang seharusnya menjadi pedoman, namun kini nyaris tak berdaya.

Ketiadaan penegakan hukum ini semakin terlihat sejak akhir 2023, ketika penertiban hampir tidak dilakukan dan PKL tumbuh pesat di sekitar pasar. Memang, pada tahun 2025 ini pemerintah telah mencoba langkah teknis seperti memasang pembatas jalan dan memperbaiki drainase di kawasan tersebut. Namun kenyataannya, upaya itu belum menyentuh akar persoalan. PKL tetap menjamur, menguasai bahu jalan, dan menimbulkan kemacetan. Artinya, kebijakan fisik tanpa diikuti ketegasan hukum tidak cukup untuk menyelesaikan masalah.

Relokasi bukan sekadar memindahkan lokasi jualan. Ia harus dibarengi dengan pendekatan yang berpihak penyediaan tempat yang layak, strategis, dan mendatangkan pembeli pelatihan kewirausahaan serta jaminan keberlanjutan usaha. Tanpa itu, relokasi hanya akan menjadi kebijakan teknokratis yang gagal menjawab kebutuhan riil masyarakat.

Lebih dari sekadar penataan fisik, persoalan PKL menyentuh akar dari dinamika hukum di Indonesia hukum yang dibentuk secara prosedural, namun gagal dalam implementasi. Ketika produk hukum tidak dijalankan dengan konsisten, maka kepercayaan publik terhadap hukum pun tergerus. Masyarakat mulai melihat hukum sebagai formalitas belaka, bukan sebagai instrumen keadilan.

Pemerintah daerah harus berani keluar dari zona nyaman, melawan tekanan politik, dan menunjukkan bahwa hukum bukan sekadar formalitas, melainkan fondasi peradaban. Penegakan hukum terhadap PKL harus dilakukan dengan integritas, keberanian, dan empati. Bukan semata-mata untuk menertibkan, tetapi untuk membangun sistem yang adil dan berkelanjutan.

PKL memang bagian dari denyut ekonomi rakyat. Namun, kota juga butuh keteraturan, keindahan, dan ruang publik yang berfungsi sebagaimana mestinya. Menata PKL bukan berarti mematikan usaha kecil, tetapi mengarahkan mereka agar tumbuh dalam sistem yang tertib dan berkeadilan. Jika kita ingin melihat hukum hidup di tengah masyarakat, maka ia harus hadir dalam tindakan nyata, bukan hanya dalam pasal-pasal yang dilupakan. Kota Jambi layak mendapatkan wajah yang tertata, dan PKL layak mendapatkan tempat yang bermartabat. Keduanya bisa berjalan beriringan, asalkan ada kemauan politik dan keberpihakan yang tulus.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun