Perjalanan menuju Pulau Labengki memakan waktu sekitar tiga jam dengan kapal. Cuaca yang tenang membuat perjalanan terasa mulus tanpa kendala. Sepanjang perjalanan, mata ini tak lepas dari lautan luas yang membentang sejauh mata memandang. Perlahan, gugusan pulau mulai terlihat di kejauhan, semakin jelas dan semakin menggoda untuk dijelajahi.Â
Sesampainya di pulau, kami langsung disambut oleh sekelompok anak yang dengan ceria menyanyikan lagu selamat datang. Suasana hangat dan penuh kegembiraan langsung terasa, seolah pulau ini menerima kami dengan tangan terbuka.
Setelah beristirahat sejenak, saya mengajak Nio untuk mengeksplorasi pulau kecil ini. Ya, pulau yang pertama kami kunjungi ini adalah pulang Labengki Kecil. Ada banyak tempat menarik yang ingin kami kunjungi---mercusuar yang berdiri kokoh di tepi tebing, gua alami yang menyimpan pesona tersembunyi, pantai berpasir putih yang begitu menggoda, hingga pelabuhan kecil tempat kapal-kapal nelayan bersandar.Â
Kami berjalan di setapak yang tidak terlalu panjang, melewati deretan rumah warga yang ternyata disewakan untuk para pengunjung. Sungguh suasana yang begitu damai, jauh dari hiruk-pikuk kota. Nio bahkan sempat mandi sebentar di pantai, merasakan kesegaran air laut sebelum kami kembali ke penginapan untuk beristirahat.
Pagi yang cerah menyambut kami di pulau ini. Hari yang baru, petualangan yang baru. Sesuai jadwal, kami akan menyeberang ke pulau seberang, melihat laguna tersembunyi, lalu mendaki puncak Labengki untuk menyaksikan pemandangan spektakuler. Setelah itu, kami berencana berenang dan snorkeling di pantainya, di mana terdapat kerang kima raksasa yang tak boleh dilewatkan. Semangat petualangan mengalir dalam diri kami, terutama Nio yang sudah tak sabar untuk menjelajah lebih jauh.
Perjalanan ke laguna begitu memukau. Airnya begitu jernih, dikelilingi tebing karst yang menjulang tinggi, menciptakan suasana yang begitu magis. Kami mengabadikan beberapa momen dengan foto sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak Labengki.
Awalnya, Nio enggan ikut mendaki dengan alasan capek. Saya membiarkannya beristirahat, sementara saya dan teman-teman melanjutkan pendakian. Namun, tak lama sebelum mencapai puncak, saya mendengar suaranya memanggil, "Bapa..." Saya pun turun kembali dan menjemputnya. Bersama-sama, kami akhirnya tiba di puncak, dan apa yang kami lihat sungguh tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Setiap sisi menyajikan pemandangan yang luar biasa---laut biru luas, gugusan pulau kecil yang tersebar seperti permata, dan laguna tersembunyi yang memancarkan keindahan alami. Kelelahan yang sempat terasa seketika hilang, tergantikan oleh kekaguman yang mendalam.
Setelah puas menikmati pemandangan dari puncak, kami turun dan bersiap-siap untuk snorkeling. Nio rupanya sudah mempersiapkan diri dengan baik, membawa sendiri perlengkapan renangnya sehingga kami tidak perlu menyewa lagi. Kami berenang menuju gugusan karang sekitar 100 meter dari tempat kami beristirahat. Mudah bagi Nio untuk berenang sejauh itu---dia memang sudah terbiasa. Sambil berenang, ia sesekali menyelam dan muncul kembali ke permukaan, melaporkan dengan penuh semangat apa yang dilihatnya di bawah air.