Mohon tunggu...
Nasywa Hanni Tsuraya
Nasywa Hanni Tsuraya Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

semoga dimudahkan aamiin.

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar

The Ratan: Merayakan Literasi dan Seni Bertema "Jogja Art + Books Fest 2025"

11 Juli 2025   14:00 Diperbarui: 11 Juni 2025   13:08 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
potret dari pintu masuk 'The Ratan' (Sumber: Dokumentasi pribadi)

                  Yogyakarta memang tak pernah kehilangan cara untuk merayakan seni dan literasi. Kota ini selalu punya ruang untuk kreativitas, ruang untuk menyuarakan ide, dan ruang untuk menjadi diri sendiri. Salah satu buktinya hadir lewat Jogja Art + Books Fest 2025 yang digelar di The Ratan, sebuah ruang seni alternatif yang belakangan jadi perbincangan banyak anak muda. Acara ini bukan hanya jadi tempat ngumpul para seniman, tapi juga jadi magnet bagi mahasiswa dari berbagai kampus, termasuk mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga.

Sebagai mahasiswa komunikasi, mereka tak hanya datang untuk "cuci mata" atau sekadar berfoto di instalasi artistik. Kunjungan ini menjadi bagian dari proses belajar yang tak tertulis di silabus. Berbeda dari suasana kelas yang biasanya dipenuhi teori, kursi, dan proyektor, suasana The Ratan memberi udara baru: lebih bebas, lebih cair, dan lebih reflektif.

Jogja Art + Books Fest 2025 menyuguhkan kombinasi antara seni rupa, literasi, musik, hingga diskusi hangat dalam suasana yang hangat dan organik. The Ratan yang bergaya industrial sederhana tapi estetik itu berubah menjadi "sarang gagasan"penuh suara, warna, dan makna. Dinding-dinding abu-abu menjadi latar bagi karya-karya visual yang tidak sekadar "menarik dilihat", tapi juga menyentil kesadaran.

Bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi, ini lebih dari sekadar pameran. Ini adalah ruang belajar alternatif yang sangat hidup. Mereka bisa menyaksikan bagaimana sebuah gagasan bisa "dibungkus" dalam berbagai medium. Dari seni instalasi yang menyentuh isu-isu sosial, hingga buku-buku terbitan independen yang membawa wacana pinggiran semuanya menjadi contoh konkret bagaimana komunikasi bisa tampil dalam berbagai bentuk.

Seorang mahasiswa yang hadir mengaku terkesan dengan karya yang membahas soal urbanisasi dan kehilangan ruang hijau. "Tampilan visualnya sederhana, tapi maknanya dalam banget. Rasanya kayak ditampar lembut," katanya. Bagi dia, pengalaman itu membuka mata bahwa komunikasi visual ternyata bisa punya dampak emosional yang lebih kuat dari kata-kata panjang.

              Di sudut lain, suasana diskusi buku berlangsung cair dan akrab. Para penulis, editor, hingga pegiat literasi duduk berdampingan dengan pengunjung. Beberapa mahasiswa memanfaatkan momen ini untuk bertanya, mencatat, dan bahkan mewawancarai narasumber demi keperluan tugas jurnalistik. Buku-buku yang ditampilkan pun jauh dari kesan "buku kampus"---kebanyakan terbitan kecil dan penulis independen, tapi justru punya keberanian dalam menyuarakan realitas yang kerap luput.

Tak kalah menarik, ada panggung kecil tempat musisi lokal tampil mengisi jeda acara. Suara gitar, tepuk tangan, dan tawa pengunjung saling bersahutan, membuat suasana menjadi hidup dan inklusif. Beberapa mahasiswa bahkan terlihat spontan berdiskusi di tangga, membicarakan satu karya yang mereka tonton sambil sesekali membuka ponsel dan mengambil foto.

Dari sudut pandang komunikasi, festival ini adalah simulasi nyata dari dunia kerja kreatif. Di sini, mahasiswa bisa belajar bagaimana cara menyampaikan pesan lewat visual, bagaimana menyusun kurasi, dan bagaimana menciptakan ruang interaksi dengan audiens. Tak ada diktat, tak ada batas. Semuanya tentang bagaimana pesan bisa sampai, meski tanpa suara.

Beberapa dari mereka terlihat mencatat dengan serius, bahkan ada yang membawa kamera untuk mendokumentasikan pameran dan aktivitas pengunjung. Bagi mereka, ini bukan hanya tentang hadir, tapi juga tentang memahami tentang belajar menyerap suasana, menangkap konteks, dan membaca simbol.

Salah satu mahasiswa juga mengungkapkan bahwa festival ini memberinya pelajaran penting: bahwa komunikasi tidak selalu verbal. "Kadang warna, tekstur, bahkan diamnya suatu karya bisa menyampaikan lebih banyak daripada paragraf panjang. Di sini, kami belajar komunikasi versi paling artistik," ujarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun