Aku Bicara, Maka Aku Ada: Bahasa dan Pencarian Jati Diri
Sosiolinguistik menawarkan lensa fundamental untuk memahami bahwa bahasa jauh lebih dari sekadar alat komunikasi; ia adalah cetak biru dinamis dari keberadaan dan keanggotaan sosial kita. Ketika kita memilih cara berbicara, dialek, aksen, atau bahkan kata-kata spesifik, kita sedang melakukan tindakan identitas—secara sadar atau tidak sadar, kita mendefinisikan "siapa kita." Konsep identitas bahasa menjelaskan proses ini: bagaimana individu dan kelompok menggunakan praktik linguistik sebagai penanda untuk berafiliasi, membedakan diri, atau menegaskan posisi mereka dalam masyarakat. Sebagai contoh, seorang remaja di kota besar mungkin sengaja menggunakan ragam bahasa gaul atau slang tertentu untuk menunjukkan keanggotaan dalam kelompok sebaya yang modern dan keren, membedakan diri dari generasi yang lebih tua yang menggunakan bahasa baku. Sebaliknya, dalam konteks profesional, penutur mungkin beralih ke bahasa formal dan teknis untuk memproyeksikan identitas sebagai individu yang berpendidikan dan berwibawa. Dengan demikian, bahasa bertindak sebagai alat performatif yang memungkinkan kita untuk menyuarakan, menegosiasikan, dan bahkan mengubah jati diri kita di berbagai panggung sosial. Pilihan linguistik ini menegaskan pepatah filosofis, yang diadaptasi: "Aku Bicara, Maka Aku Ada."
 Namun, pencarian jati diri melalui bahasa ini seringkali merupakan medan perang ideologis yang kompleks. Dalam masyarakat multibahasa, bahasa-bahasa tidak berada pada level yang setara; beberapa dilekatkan pada kekuasaan, kemakmuran, dan status tinggi (seperti bahasa dominan atau bahasa internasional), sementara yang lain mungkin distigmatisasi dan dikaitkan dengan kemiskinan atau keterbelakangan (seperti beberapa bahasa minoritas atau dialek regional). Sosiolinguistik mengungkapkan bagaimana ideologi bahasa ini memengaruhi identitas penutur, menciptakan tekanan untuk mengadopsi variasi bahasa yang "bernilai tinggi" demi mobilitas sosial. Individu yang terpaksa meninggalkan bahasa ibu mereka demi bahasa dominan seringkali mengalami krisis identitas bahasa, merasa terputus dari warisan budaya mereka. Di sisi lain, munculnya komunikasi digital dan globalisasi telah menciptakan ruang-ruang baru bagi individu untuk membangun identitas transnasional melalui code-switching daring atau penggunaan bahasa hybrid, memungkinkan penutur untuk merangkul jati diri yang fleksibel dan majemuk. Pada akhirnya, identitas bahasa adalah produk yang selalu cair dari negosiasi antara dorongan individu untuk berekspresi dan kekuatan serta harapan masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI