Mohon tunggu...
Nastiti Lestari
Nastiti Lestari Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist, runner, proud mother❤

Mahasiswi Doktoral Kriminologi, Universitas Indonesia dan Penulis Buku Kumpulan Cerpen Apple Strudel

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukuman Mati: A Legitimate Murder?

4 Januari 2023   18:00 Diperbarui: 4 Januari 2023   17:59 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tujuan penghukuman pada zaman Mesir kuno atau pada masa kerajaan di Jawa memang untuk balas dendam. Eye for an eye, nyawa dibalas nyawa. Zaman berubah, hukum tidak statis, manusia terus mengalami kemajuan dalam berpikir. Sistem pemidanaan tidak lagi mempraktikkan balas dendam.

Indoktrinasi Agama? 

Stearns dalam Sulhin (2016) menyebutkan, demonologis adalah rasionalitas awal mula penghukuman. Kejahatan merupakan perilaku manusia yang dipengaruhi oleh roh jahat, sehingga bentuk awal penghukuman bersifat retaliasi religius. Berkembangnya peradaban Mesir Kuno, Babilonia, Hebrew, Muhammad (Islam awal), Hindu, dan Cina turut mengembangkan komponen religius ini, di mana penghukuman adalah proses pemurnian. Hukuman mati menjadi penghukuman paling umum (Sulhin, 2016).

Ketika banyak orang tak mau melihat kajian ilmiah, yang dipegang adalah dogma bahwa hukuman mati adalah satu-satunya jalan yang ampuh untuk memberantas para pelaku "extra ordinary crimes". Dalil-dalil agama dikeluarkan untuk memperkuat argumentasi terhadap hukuman mati. Fakta bahwa konstitusi menjamin hak untuk hidup sebagai hak paling mendasar, diabaikan. Sebuah kondisi yang disebut Derrida, tertutup oleh kabut mistis.

Tahun 2007, Jaksa Agung dalam menanggapi Judicial Review yang diajukan duo Bali Nine, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan terhadap pasal hukuman mati dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa semua agama masih memperbolehkan hukuman mati. Menurutnya, terlalu naif jika menghapus hukuman mati akan menempatkan Indonesia sebagai negara yang beradab. Jaksa Agung menolak secara kategoris permohonan uji materiil tersebut. Majelis Hakim MK tak menyangkal argumen itu. Ketika hari putusan tiba, dari total 9 hakim MK, 6 hakim menolak, 3 hakim mendukung. Dengan demikian, pasal hukuman mati dalam UU tentang Narkotika dinyatakan tetap berlaku. Uji materiil, gagal.

Dalam Islam, hukuman mati adalah bagian dari penegakan ajaran hukum Islam. Tahun 1980an ketika bioskop layar tancap ramai digelar setiap malam minggu di lapangan sepak bola kabupaten/kota secara gratis, film-film yang diputar didominasi tema sejarah dan awal mula penyebaran Islam di nusantara. Film tentang Wali Songo salah satunya, yang menunjukkan bagaimana hukum ditegakkan atas kasus pencurian. Meski hasil curian dibagikan kepada masyarakat miskin. Tapi "hukum" tak melihat itu. 

Kejahatan adalah kejahatan dan oleh karenanya harus ditindak. Hukuman potong tangan, cambuk (tidak hanya dengan tali pecut tapi juga pisau), bahkan hukuman gantung dipertontonkan dalam film berdurasi hampir 1,5 jam itu. Penjual kacang rebus, kopi tubruk, teh jahe panas-panas wara wiri menjajakan dagangannya. Acara menonton menjadi semakin semarak. Warga menikmati hukum yang dipraktekkan secara kejam dan semena-mena. Barangkali, kulturlah yang membuat sentimen agama, tak akan rela hukuman mati dihapuskan dari tanah air.

Bagaimana Katolik memandang hukuman mati? Prof. Magnis-Suseno, rohaniwan dan pakar teologi pembebasan pernah mengatakan, dalam perspektif Katolik kedudukan manusia adalah mulia. Kalaupun ada penjahat yang membunuh sesamanya, sebetulnya ia termasuk kategori apel busuk. Pohon apelnya tidak otomatis busuk. Busuknya apel itu sangat mungkin dipengaruhi iklim atau serangga sehingga mencederai pertumbuhan pohon apel tersebut. Tugas gereja Katolik membuat pohon apel itu tumbuh sehat kembali, jauh dari hama dan penyakit lainnya yang akan membuat buahnya busuk. Metafora apel busuk ini sesuai dengan tujuan pemidanaan; reedukasi, resosialisasi dan rehabilitasi.

Bukan kematian benar menusuk kalbu, tapi keridhaanmu menerima segala tiba, tulis Chairil Anwar. Menyanyikan Amazing Grace, menatap regu tembak yang bersiap melayangkan peluru ke dada mereka, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan menghadapi kematian dengan tenang. Setelah sepuluh tahun lebih dihabiskan di penjara Kerobokan, Bali. Mengisi hari-hari yang suram dengan kegiatan melukis, mengajar computer dan Bahasa Inggris, mendengarkan siraman rohani, sambil terus melakukan berbagai upaya hukum dan berharap adanya keajaiban. Duo Bali Nine yang terdengar gahar itu telah berubah menjadi individu yang konformis dan prososial. Bukan lagi "The Godfather" kasus narkoba seperti yang dituduhkan kepada mereka. Keraguan Foucault bahwa penjara mampu melakukan transformasi terhadap individu, tak terbukti pada kasus ini.

"Our world," kata Camus... "is a world guided by no moral law, no truth or principle that is superior to man, and, as a result, has lost the only values that, in a certain way, can justify capital punishment." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun